Tuban – Di berbagai daerah, khususnya di Jawa Timur, tradisi Megengan menjelang bulan suci Ramadan masih terus dilestarikan. Tak terkecuali di Kabupaten Tuban, Megengan menjadi momen spesial bagi masyarakat untuk menyambut datangnya bulan penuh berkah. Tradisi yang diwarnai dengan doa bersama dan pembagian nasi berkat serta kue apem ini, bukan hanya sekadar ritual tahunan, namun juga menjadi perekat kebersamaan antarwarga.
Dina Susanti, seorang warga Baturetno, Kecamatan Tuban, menuturkan bahwa Megengan adalah tradisi yang selalu ia jalani bersama keluarga setiap tahunnya. “Setiap tahun, kami sekeluarga selalu membuat berkat dan apem untuk dibagikan ke tetangga. Ini sudah menjadi tradisi turun temurun,” ungkapnya pada Sabtu (22/2/2025). Lebih dari sekadar tradisi, bagi Dina, Megengan adalah wujud kebersamaan. “Biasanya kami membuat makanan, termasuk apem, bersama-sama keluarga, lalu membagikannya. Momen seperti ini yang membuat hubungan antar warga semakin erat,” imbuhnya.
Senada dengan Dina, Sumini, warga Kelurahan Mondokan, Tuban, juga mengungkapkan antusiasmenya dalam menyambut Megengan. Ia selalu mengikuti kegiatan Megengan yang diadakan di musala dekat rumahnya. “Biasanya kami mengadakan doa bersama di musala. Setelah itu, baru makan bersama dengan nasi berkat dan apem. Dengan mengikuti Megengan ini, hati rasanya lebih tenang dan siap menyambut Ramadan,” kata Sumini.
Megengan: Lebih Dari Sekadar Tradisi, Mengandung Nilai Spiritual dan Budaya Luhur
Sebagai tradisi yang telah mengakar sejak zaman nenek moyang, Megengan bukan hanya sekadar kegiatan seremonial. Kata “Megengan” sendiri berasal dari kata “mengan” atau “menahan,” yang dalam konteks tradisi ini mengajarkan pentingnya menahan diri dari sifat-sifat tercela. Nilai ini sangat relevan dengan esensi ibadah puasa Ramadan yang menekankan kesabaran, pengendalian diri, dan introspeksi diri.
Dalam perspektif sejarah, Megengan diyakini sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam yang diperkenalkan oleh Wali Songo. Melalui tradisi ini, ajaran Islam dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat dengan tetap mempertahankan unsur-unsur budaya yang sudah ada. Salah satu contohnya adalah kehadiran kue apem dalam tradisi Megengan.
Kue Apem: Simbol Permohonan Ampun dan Hati yang Bersih Menjelang Ramadan
Kue apem bukan hanya sekadar hidangan pelengkap dalam Megengan, tetapi juga mengandung filosofi yang mendalam. Apem berasal dari kata “afwan” dalam bahasa Arab, yang berarti maaf atau ampunan. Sebutan ini kemudian disesuaikan dengan lidah masyarakat Jawa menjadi “apem.” Hidangan ini dihadirkan sebagai simbol permohonan maaf kepada sesama manusia serta permohonan ampun kepada Allah SWT atas segala dosa yang telah diperbuat.
Sebagaimana dikutip dari situs resmi Media Informasi Pesantren Tebuireng, penyajian apem dalam Megengan bertujuan agar masyarakat dapat mengambil hikmah dari maknanya. Oleh karena itu, tradisi Megengan di berbagai daerah umumnya diawali dengan kegiatan tahlil dan istigasah di masjid atau musala. Setelah kegiatan tersebut, masyarakat akan menikmati hidangan berupa nasi berkat dan apem secara bersama-sama, yang semakin mempererat rasa kebersamaan dan kekeluargaan.
Rangkaian Tradisi Megengan: Dari Doa Bersama Hingga Berbagi Berkah
Megengan biasanya dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Syakban sebagai ungkapan rasa syukur atas dipertemukannya kembali dengan bulan Ramadan. Selain berkumpul di masjid atau musala untuk berdoa, masyarakat juga memiliki tradisi “nyekar,” yaitu berziarah ke makam keluarga atau leluhur untuk mendoakan mereka. Setelah itu, makanan khas Megengan, termasuk apem, akan dibagikan kepada tetangga sebagai wujud kebersamaan dan saling berbagi berkah.
Tradisi Megengan yang tetap lestari hingga kini menjadi bukti eratnya hubungan antara budaya dan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan masyarakat Tuban. Lebih dari sekadar perayaan, Megengan mengajarkan makna kebersamaan, introspeksi diri, dan kesiapan hati dalam menyambut bulan suci Ramadan yang penuh dengan keberkahan. Melalui tradisi ini, masyarakat Tuban tidak hanya menyambut Ramadan dengan suka cita, tetapi juga dengan hati yang bersih dan penuh kebersamaan.