Jakarta,Disinformasi bukan lagi sekadar bisingnya jagat maya, melainkan telah menjadi ancaman serius yang mengintai stabilitas masyarakat global. Hasil survei IPSOS pada tahun 2023 menunjukkan fakta mencengangkan: 53% orang di seluruh dunia merasa mengalami lebih banyak misinformasi dibandingkan tiga dekade silam. Kondisi ini menjadi sorotan utama dalam Forum for East Asia-Latin America Cooperation (FEALAC) Journalist Dialogue 2025 yang diselenggarakan di Pullman Hotel, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Peran Teknologi dalam Penyebaran Disinformasi
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, dalam forum tersebut menegaskan bahwa kemajuan teknologi, khususnya dalam otomatisasi produksi dan distribusi konten, telah memperluas jangkauan serta dampak disinformasi secara signifikan. “Jika tidak diantisipasi, hal ini berpotensi mengganggu stabilitas sosial,” ujar Nezar. Pernyataan ini diperkuat oleh laporan World Economic Forum tahun 2025 yang menempatkan disinformasi sebagai salah satu dari 10 risiko global terbesar dengan potensi dampak parah di berbagai negara.
Penyebaran narasi palsu dan fakta yang terdistorsi memicu polarisasi dan mengikis kepercayaan publik terhadap media. Lanskap media global saat ini berada di bawah tekanan kuat, terutama karena algoritma platform digital yang cenderung lebih mengutamakan keterlibatan (engagement) ketimbang akurasi informasi.
Peluang Kolaborasi Internasional dan Jurnalisme Etis
Di balik tantangan besar ini, Nezar Patria melihat adanya peluang emas untuk kolaborasi internasional. Ia menekankan pentingnya masyarakat global untuk saling bertukar praktik terbaik, mendorong jurnalisme yang etis, dan berinvestasi secara serius dalam literasi digital. “Sebagai insan media, perang melawan disinformasi bukanlah perang terhadap kebebasan berpendapat, melainkan upaya mempertahankan kebenaran,” tegasnya.
Strategi Indonesia Melawan Disinformasi
Di Indonesia, dengan jumlah pengguna internet yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa, disinformasi menyebar dengan sangat cepat melalui berbagai platform media sosial. Wamenkomdigi Nezar Patria menjelaskan bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia memprioritaskan pendekatan komprehensif dalam memerangi disinformasi. Ini mencakup peningkatan ketahanan digital, kerja sama lintas sektor, dan penguatan komunikasi publik.
“Upaya konkret meliputi reformasi regulasi, sistem peringatan dini, dan kemitraan dengan masyarakat sipil untuk memantau konten berbahaya,” paparnya. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sendiri telah memperluas strategi mereka dengan meluncurkan kampanye literasi media, menjalin kolaborasi erat dengan platform teknologi, dan mengembangkan kapasitas jurnalis lokal. Inisiatif seperti alat deteksi cerdas, dialog lintas batas, dan integrasi pemeriksaan fakta ke dalam layanan publik menjadi fokus utama.
Terobosan Regional dan Pentingnya Forum Internasional
Pada tahun 2023, Indonesia bahkan berkolaborasi dengan negara-negara ASEAN untuk merilis pedoman penanganan disinformasi, sebuah terobosan penting dalam memperkuat solidaritas regional. Nezar Patria menggarisbawahi bahwa forum internasional memegang peran krusial sebagai jembatan untuk menyatukan perspektif dan pengalaman antarnegara. “Melalui inisiatif seperti kampanye edukasi media, pertukaran jurnalis, dan pemeriksaan fakta bersama, diharapkan lahir kemitraan baru yang mampu memperkuat integritas informasi,” pungkasnya. Upaya kolektif ini menjadi kunci dalam membangun ekosistem informasi yang lebih sehat dan terpercaya di tengah gempuran disinformasi global.