Jakarta – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengambil langkah progresif dengan menangguhkan penahanan SSS, seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sebelumnya ditahan terkait unggahan meme yang melibatkan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden RI ke-7 Joko Widodo. Keputusan ini menuai respons positif dari berbagai pihak, salah satunya datang dari Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Fahrur Rozi, yang akrab disapa Gus Fahrur.
Langkah Polri Dinilai Bijaksana dan Mengedepankan Kemanusiaan
Gus Fahrur menyampaikan apresiasinya terhadap keputusan Polri tersebut. Menurutnya, langkah ini menunjukkan kebijaksanaan dan mengedepankan aspek kemanusiaan, terutama mengingat status SSS sebagai seorang mahasiswi yang tengah menempuh pendidikan.
“Saya kira itu langkah yang positif. Yang bersangkutan juga sudah menyampaikan permintaan maaf. Ini bisa menjadi pelajaran agar tidak terulang di masa mendatang,” ujar Gus Fahrur kepada awak media pada Senin (12/5/2025).
Penangguhan penahanan ini sendiri dikonfirmasi oleh pihak Bareskrim Polri. Keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk permohonan maaf dari SSS dan pertimbangan agar ia dapat melanjutkan studinya tanpa terhambat proses hukum. Langkah ini juga sejalan dengan upaya Polri untuk mengedepankan restorative justice dalam penanganan kasus-kasus tertentu.
PBNU Ingatkan Pentingnya Adab dalam Menyampaikan Kritik
Lebih lanjut, Gus Fahrur menyoroti pentingnya menghormati pemimpin negara. Ia menjelaskan bahwa dalam ajaran Islam, menghormati pemimpin yang sah merupakan sebuah kewajiban yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
“Siapa pun pemimpinnya, wajib kita hormati. Ini merupakan ajaran dalam Al-Qur’an dan hadis. Ketaatan kepada pemimpin yang sah adalah bagian dari menjaga ketertiban dan keamanan demi kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Kendati demikian, Gus Fahrur juga tidak menampik bahwa kritik terhadap pemerintah tetap diperbolehkan. Namun, ia menekankan bahwa kritik tersebut harus disampaikan dengan cara yang beradab, konstruktif, dan tidak mengandung unsur penghinaan atau ujaran kebencian.
“Kritik itu hak setiap warga negara, tapi tentu ada adabnya. Menyampaikan kritik dengan cara yang baik dan sopan akan lebih efektif dan tidak menimbulkan kegaduhan,” imbuh Gus Fahrur.
Kasus SSS Jadi Pembelajaran Berharga
Kasus yang dialami SSS ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran berharga bagi seluruh masyarakat, khususnya para pengguna media sosial. Kebebasan berekspresi di dunia digital harus diimbangi dengan tanggung jawab dan kesadaran akan dampak dari setiap unggahan.
Polri sendiri telah memberikan imbauan kepada masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial dan menghindari penyebaran konten yang berpotensi melanggar hukum, seperti ujaran kebencian, berita bohong (hoaks), dan penghinaan.
Dengan ditangguhkannya penahanan SSS, diharapkan proses hukum selanjutnya dapat berjalan dengan lebih konstruktif, memberikan ruang bagi yang bersangkutan untuk memperbaiki diri dan menyelesaikan pendidikannya. Langkah Polri ini juga menjadi sinyal positif tentang pentingnya pendekatan yang humanis dalam penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan generasi muda.