Jakarta – Kabar gembira menghampiri pasar keuangan Indonesia. Nilai tukar rupiah menunjukkan pemulihan yang signifikan, berhasil menguat kembali ke level Rp16.400 per dolar AS. Penguatan ini terjadi setelah sebelumnya mata uang Garuda sempat tertekan hingga menyentuh angka Rp16.800. Stabilitas rupiah ini dipandang sebagai cerminan kembali ke level fundamentalnya sekaligus meningkatkan kepercayaan pasar terhadap soliditas ekonomi domestik di tengah gejolak ekonomi global.
Peluang Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia Menguat
Menanggapi penguatan nilai tukar rupiah ini, pengamat ekonomi terkemuka, Fakhrul Fulvian, memberikan pandangannya. Menurutnya, stabilitas yang kembali diraih rupiah membuka peluang bagi Bank Indonesia (BI) untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan.
“Rupiah saat ini sudah menunjukkan kekuatan dan kembali berada pada level fundamental yang seharusnya. Jika kondisi ini dapat dipertahankan, maka tidak ada alasan bagi Bank Indonesia untuk menunda langkah penurunan suku bunga,” tegas Fakhrul pada Rabu (7/5/2025).
Imbas Keputusan Suku Bunga The Fed
Penguatan rupiah ini terjadi di tengah perhatian intens pasar keuangan global terhadap agenda pengumuman keputusan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), yang dijadwalkan pada pekan kedua bulan Mei 2025. Meskipun proyeksi pasar menunjukkan adanya potensi pemangkasan suku bunga The Fed hingga 100 basis poin pada akhir tahun ini, Fakhrul berpendapat bahwa The Fed kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga നിലവിലെ sambil terus mencermati perkembangan data pasar tenaga kerja AS dan inflasi core PCE yang masih menunjukkan angka yang relatif tinggi.
Fundamental Ekonomi Domestik Jadi Penopang
Lebih lanjut, Fakhrul menjelaskan bahwa stabilitas nilai tukar rupiah di pasar domestik saat ini tidak lepas dari dukungan beberapa faktor fundamental ekonomi yang kuat. Faktor-faktor tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap terjaga dengan baik serta respons kebijakan yang cepat dan tepat dari Bank Indonesia.
“Pasar melihat adanya ketahanan yang dimiliki oleh ekonomi Indonesia, bahkan di tengah berbagai tekanan yang berasal dari global. Hal inilah yang tercermin dari penguatan nilai tukar rupiah yang kembali ke level yang lebih wajar,” imbuhnya.
IHSG Terindikasi Overbought, Sektor Komoditas dan Primer Berpeluang
Di sisi pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sebelumnya sempat menembus level psikologis 6.900 mulai menunjukkan indikasi overbought, terutama pada sektor perbankan. Kondisi ini membuka potensi terjadinya aksi ambil untung (profit taking) oleh para investor.
Kendati demikian, Fakhrul melihat peluang yang menarik di sektor lain. Sektor komoditas emas, misalnya, terus menunjukkan tren penguatan yang signifikan. Selain itu, sektor primer seperti poultry (perunggasan) dinilai memiliki resiliensi yang baik terhadap volatilitas pasar global.
Diversifikasi Sektor Ekonomi untuk Pertumbuhan Berkelanjutan
Fakhrul juga menekankan urgensi untuk melakukan diversifikasi kontribusi pertumbuhan ekonomi di luar sektor pertanian, yang menjadi penopang utama pada kuartal I-2025. Menurutnya, langkah ini krusial untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap potensi guncangan eksternal.
“Kita perlu mendorong lebih banyak sektor ekonomi agar dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap pertumbuhan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi kita akan menjadi lebih stabil dan tidak terlalu bergantung pada satu atau dua sektor saja, sehingga lebih tahan terhadap berbagai gejolak eksternal,” pungkasnya.
Dengan kembalinya stabilitas nilai tukar rupiah di level Rp16.400 per dolar AS, pasar keuangan Indonesia menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Situasi ini juga membuka ruang bagi otoritas moneter untuk mempertimbangkan langkah-langkah kebijakan yang lebih akomodatif guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional ke depannya. Pasar akan terus mencermati perkembangan selanjutnya, terutama terkait dengan kebijakan suku bunga baik dari The Fed maupun Bank Indonesia.