perisainews.com – Generasi muda zaman sekarang seringkali merasa tertekan dan kurang dipahami oleh generasi yang lebih tua, terutama dalam hal aturan dan ekspektasi yang dianggap ketinggalan zaman. Berbagai aturan “ala boomer” seringkali menjadi sumber frustrasi dan perdebatan sengit di berbagai platform media sosial maupun dalam percakapan sehari-hari. Mengapa hal ini terjadi? Mari kita telaah lebih dalam beberapa aturan dan pandangan generasi baby boomer yang seringkali membuat generasi muda merasa “mual” dan bagaimana kita bisa menjembatani kesenjangan ini.
Mengapa Aturan Generasi Boomer Terasa Tidak Relevan?
Perbedaan mendasar antara generasi boomer dan generasi muda (Millennials, Gen Z, dan seterusnya) terletak pada konteks sosial, ekonomi, dan teknologi tempat mereka tumbuh dan berkembang. Generasi boomer, yang lahir antara pertengahan 1940-an hingga pertengahan 1960-an, tumbuh di era pasca-perang dengan stabilitas ekonomi yang relatif tinggi dan kemajuan teknologi yang bertahap. Mereka cenderung menghargai loyalitas, kerja keras fisik, dan mengikuti jalur karier yang linier.
Di sisi lain, generasi muda tumbuh di era globalisasi, internet, dan ketidakpastian ekonomi. Mereka lebih fleksibel, menghargai keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance), dan terbuka terhadap berbagai pilihan karier yang mungkin tidak konvensional bagi generasi sebelumnya. Kemajuan teknologi juga memungkinkan mereka untuk memiliki akses ke informasi dan perspektif yang jauh lebih luas.
Beberapa Aturan Boomer yang Sering Dikritik
Berikut adalah beberapa contoh aturan dan pandangan generasi boomer yang seringkali menjadi sorotan dan kritik dari generasi muda:
1. “Kerja Keras Pasti Membuahkan Hasil”
Meskipun etos kerja keras tetap relevan, interpretasi dan aplikasinya seringkali berbeda. Generasi muda melihat bahwa kerja keras saja tidak selalu menjamin kesuksesan, terutama dalam kondisi ekonomi yang kompetitif dan dengan upah yang stagnan. Mereka juga mempertanyakan narasi bahwa bekerja lembur tanpa henti adalah satu-satunya cara untuk mencapai keberhasilan.
Faktanya, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meskipun angka pengangguran terbuka di kalangan usia muda cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, proporsi pekerja dengan upah rendah masih cukup signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas “kerja keras” tanpa adanya kesempatan dan sistem yang mendukung.
2. “Loyalitas Terhadap Perusahaan adalah Segalanya”
Konsep loyalitas yang dianut generasi boomer seringkali bertentangan dengan realitas pasar kerja saat ini. Generasi muda melihat bahwa perusahaan tidak selalu memberikan imbal balik yang setimpal atas loyalitas karyawan. Mereka lebih cenderung mencari peluang yang menawarkan pertumbuhan, pembelajaran, dan kompensasi yang lebih baik, bahkan jika itu berarti berpindah-pindah pekerjaan.
Sebuah studi dari LinkedIn menunjukkan bahwa generasi muda cenderung berganti pekerjaan lebih sering dibandingkan generasi sebelumnya. Hal ini bukan semata-mata karena ketidaksetiaan, tetapi lebih karena keinginan untuk mengembangkan diri dan mendapatkan pengalaman yang beragam.
3. “Harus Beli Rumah Secepatnya”
Pandangan bahwa membeli rumah adalah pencapaian utama dan harus dilakukan sesegera mungkin seringkali membuat generasi muda merasa tertekan. Harga properti yang terus melambung tinggi, terutama di kota-kota besar, membuat impian memiliki rumah semakin sulit dijangkau bagi banyak anak muda. Mereka mempertanyakan mengapa menyewa tidak dianggap sebagai pilihan yang valid, padahal secara finansial mungkin lebih masuk akal dalam kondisi tertentu.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, semakin menjauhkan kemampuan daya beli generasi muda.