perisainews.com – Fenomena menarik sedang mewarnai lanskap komunikasi kita saat ini: kata-kata yang dulunya dianggap sopan dan penuh nilai oleh generasi Baby Boomer, kini justru dianggap ketinggalan zaman, bahkan menyebalkan, oleh generasi muda. Ada jurang pemisah yang lebar dalam memahami konteks dan dampak dari ucapan-ucapan tertentu. Sementara satu generasi merasa terusik, generasi lainnya justru mengangkat bahu dan berkata, “Biasa aja.”
Mengapa Kata-Kata “Boomer” Bisa Jadi Bom Waktu?
Istilah “Boomer” sendiri, awalnya merujuk pada generasi yang lahir pasca Perang Dunia II, kini sering digunakan secara general untuk melabeli pandangan dan nilai-nilai generasi yang lebih tua. Beberapa frasa atau kata yang dulunya lumrah, kini dianggap merendahkan, tidak relevan, atau bahkan mencerminkan ketidakpedulian terhadap isu-isu terkini.
Salah satu contoh klasik adalah ungkapan, “Dulu zaman saya…”. Bagi generasi muda, kalimat ini seringkali terdengar seperti meremehkan tantangan dan realitas yang mereka hadapi saat ini. Mereka hidup di era yang serba cepat, dengan masalah global yang kompleks seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan ekonomi, dan tekanan media sosial yang tidak pernah dialami generasi sebelumnya. Membandingkan dengan masa lalu, tanpa mengakui perbedaan konteks, bisa terasa seperti validasi pengalaman mereka diabaikan.
Generasi Muda: Lebih Fokus pada Solusi dan Empati
Lantas, mengapa generasi muda cenderung tidak peduli dengan kata-kata yang membuat “Boomer” tersinggung? Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya:
-
Paparan Informasi yang Luas: Generasi muda tumbuh dengan akses tak terbatas ke informasi dari berbagai sumber. Mereka terpapar pada beragam perspektif, budaya, dan isu global sejak dini. Hal ini membuat mereka lebih kritis terhadap narasi tunggal dan lebih menghargai nuansa dalam berkomunikasi. Mereka lebih tertarik pada solusi konkret dan tindakan nyata daripada sekadar retorika.
-
Nilai-Nilai yang Bergeser: Fokus generasi muda seringkali berbeda dengan generasi sebelumnya. Isu-isu seperti keberlanjutan lingkungan, kesetaraan gender, inklusivitas, dan kesehatan mental menjadi prioritas utama. Kata-kata yang tidak mencerminkan nilai-nilai ini atau bahkan bertentangan dengannya, cenderung diabaikan atau bahkan ditentang.
-
Gaya Komunikasi yang Lebih Langsung: Generasi muda terbiasa dengan komunikasi yang lebih to the point dan transparan. Mereka kurang tertarik pada basa-basi yang berlebihan atau penggunaan bahasa yang dianggap terlalu formal dan kaku. Kejujuran dan autentisitas lebih dihargai daripada kesantunan yang terasa dibuat-buat.
-
Ketidakpercayaan pada Institusi Tradisional: Banyak anak muda yang tumbuh dengan ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi tradisional dan narasi-narasi mapan. Mereka lebih mengandalkan informasi dari sumber-sumber alternatif dan komunitas online yang mereka percayai. Kata-kata yang dianggap sebagai representasi dari status quo atau kekuasaan yang tidak adil, seringkali tidak mendapat tempat di hati mereka.
Contoh Kata-Kata yang Jadi Jurang Pemisah
Mari kita lihat beberapa contoh spesifik kata atau frasa yang sering menjadi sumber gesekan:
-
“Kerja keraslah, nanti juga sukses.” Meskipun niatnya baik, bagi generasi muda yang menghadapi pasar kerja yang kompetitif, biaya hidup yang tinggi, dan stagnasi upah, kalimat ini bisa terdengar naif dan tidak realistis. Mereka tahu bahwa kerja keras saja tidak selalu cukup tanpa adanya kesempatan dan sistem yang adil. Mereka lebih menghargai pengakuan atas tantangan yang mereka hadapi dan dukungan konkret untuk mengatasinya.
-
“Jangan terlalu sensitif.” Kalimat ini seringkali digunakan untuk meremehkan perasaan seseorang, terutama ketika menyangkut isu-isu sensitif seperti ras, gender, atau orientasi seksual. Bagi generasi muda yang lebih sadar akan pentingnya validasi emosi dan ruang aman, ungkapan ini bisa terasa menyakitkan dan tidak empatik. Mereka percaya bahwa setiap perasaan itu valid dan perlu didengarkan.
-
“Generasi sekarang manja.” Label ini seringkali dilontarkan tanpa memahami tekanan dan tantangan unik yang dihadapi generasi muda. Mereka tumbuh di era persaingan global, tekanan akademik yang tinggi, dan bombardir informasi yang konstan. Menyebut mereka manja mengabaikan perjuangan mereka dan mereduksi kompleksitas pengalaman mereka.
-
“Dulu kami tidak seperti itu.” Seperti yang sudah disebutkan, membandingkan masa lalu tanpa mengakui perubahan zaman dan konteks bisa terasa tidak relevan. Generasi muda hidup di dunia yang berbeda, dengan tantangan dan peluang yang berbeda pula. Nostalgia yang berlebihan tanpa mengakui realitas saat ini, tidak akan membangun jembatan komunikasi.
Membangun Jembatan Komunikasi: Lebih dari Sekadar Kata-Kata
Lalu, bagaimana kita bisa menjembatani jurang pemisah ini? Kuncinya terletak pada pemahaman, empati, dan kemauan untuk belajar satu sama lain. Generasi yang lebih tua perlu mencoba memahami konteks dan tantangan yang dihadapi generasi muda saat ini. Sebaliknya, generasi muda juga perlu menghargai pengalaman dan perspektif yang dimiliki generasi sebelumnya.
Ini bukan tentang siapa yang benar atau salah, tetapi tentang bagaimana kita bisa berkomunikasi secara lebih efektif dan membangun pemahaman yang lebih baik. Beberapa langkah yang bisa diambil: