perisainews.com – Dalam percakapan sehari-hari, tanpa kita sadari, seringkali terlontar ungkapan atau frasa yang terdengar sederhana bahkan cenderung merendahkan, namun justru kerap digunakan oleh individu yang dianggap cerdas atau berpendidikan tinggi. Fenomena “bahasa bodoh” ini menarik untuk dikulik lebih dalam, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk meningkatkan kesadaran kita terhadap dampak komunikasi dan potensi kesalahpahaman yang mungkin timbul. Mari kita telaah beberapa contoh dan mengapa hal ini perlu kita waspadai.
Ironi dan Sarkasme yang Terlalu Halus
Orang pintar seringkali mengandalkan kemampuan kognitif lawan bicara untuk menangkap ironi atau sarkasme dalam ucapan mereka. Padahal, tidak semua orang memiliki tingkat pemahaman yang sama terhadap nuansa bahasa seperti ini. Ketika ironi atau sarkasme disampaikan terlalu halus atau tanpa penanda verbal yang jelas (seperti intonasi suara atau ekspresi wajah), pesan yang dimaksud bisa jadi meleset jauh dari sasaran. Alih-alih dianggap lucu atau cerdas, ucapan tersebut justru dapat disalahartikan sebagai pernyataan serius atau bahkan dianggap merendahkan.
Sebagai contoh, ketika seseorang melakukan kesalahan, respons sarkastik seperti “Wah, jenius sekali idenya!” mungkin dimaksudkan sebagai humor, namun bagi yang tidak menangkap maksudnya, ini bisa terasa sebagai hinaan yang menyakitkan. Penggunaan ironi dan sarkasme memang bisa menjadi bumbu dalam percakapan, tetapi penting untuk mempertimbangkan konteks dan lawan bicara kita. Terlalu sering atau tidak tepat penggunaannya justru bisa menciptakan jarak dan kesalahpahaman.
Meremehkan dengan Pujian Terselubung (Backhanded Compliment)
Jenis “bahasa bodoh” lainnya adalah pujian terselubung atau backhanded compliment. Ini adalah ungkapan yang secara sekilas terdengar positif, namun sebenarnya mengandung kritik atau meremehkan. Orang yang mengucapkannya mungkin merasa pintar karena berhasil menyampaikan kritiknya secara tidak langsung, namun bagi penerima, ini bisa terasa lebih menyakitkan daripada kritikan langsung.
Contohnya, “Untuk ukuran orang yang baru belajar, lumayan juga hasil kerjamu.” Kalimat ini, alih-alih memberikan semangat, justru merendahkan pencapaian seseorang dengan menekankan statusnya sebagai pemula. Atau, “Gaun ini bagus sekali, kamu terlihat lebih kurus dari biasanya.” Pujian tentang gaun sekaligus menyiratkan bahwa tanpa gaun tersebut, orang itu terlihat lebih gemuk. Ucapan-ucapan seperti ini menunjukkan kurangnya empati dan berpotensi merusak harga diri seseorang.
Menggunakan Istilah Teknis Tanpa Penjelasan
Dalam lingkungan profesional atau akademis, penggunaan istilah teknis atau jargon mungkin wajar dan efisien. Namun, ketika berkomunikasi dengan orang di luar bidang tersebut, menggunakan istilah-istilah ini tanpa memberikan penjelasan sama saja dengan membangun tembok penghalang. Orang yang melakukannya mungkin merasa menunjukkan pengetahuannya, namun bagi pendengar, ini bisa terasa membingungkan, mengasingkan, bahkan membuat mereka merasa bodoh.
Bayangkan seorang ahli IT yang menjelaskan masalah komputer kepada orang awam dengan istilah-istilah seperti “algoritma”, “firewall”, atau “enkripsi” tanpa memberikan definisi yang mudah dipahami. Alih-alih membantu, ini justru membuat orang tersebut semakin tidak mengerti dan enggan bertanya lebih lanjut. Komunikasi yang efektif seharusnya menjembatani kesenjangan pengetahuan, bukan memperlebarnya. Orang pintar sejati adalah mereka yang mampu menyampaikan ide-ide kompleks dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh siapa saja.