perisainews.com – Siapa di antara kita yang nggak pernah merasakan pahitnya berada dalam hubungan yang nggak sehat alias toxic? Rasanya seperti rollercoaster emosi, bikin energi terkuras, dan seringkali meninggalkan luka yang membekas. Anehnya, meskipun sudah bertekad untuk menjauh, terkadang ada saja kebiasaan kecil yang tanpa kita sadari justru membuka pintu kembali ke pelukan mantan yang toxic itu. Hmm, kok bisa ya? Yuk, kita bedah satu per satu kebiasaan-kebiasaan “sepele” ini yang diam-diam bisa menjerumuskanmu lagi.
Nostalgia Semu: Mengenang yang Indah, Melupakan Luka
Otak kita memang punya kecenderungan unik untuk lebih mudah mengingat momen-momen indah daripada yang menyakitkan. Saat baru putus dari hubungan toxic, mungkin kamu masih jelas mengingat semua drama dan air mata. Tapi seiring berjalannya waktu, ingatan buruk itu perlahan memudar, dan yang tersisa hanyalah secuil kenangan manis saat-saat awal bersama.
Coba deh jujur, pernah nggak kamu tiba-tiba teringat obrolan seru saat kencan pertama, hadiah romantis yang pernah diberikan, atau bahkan hanya sekadar candaan yang dulu sering membuatmu tertawa? Ingatan-ingatan ini memang terasa menyenangkan, seperti oase di tengah gurun kesendirian. Tapi bahayanya, kamu jadi lupa alasan sebenarnya mengapa hubungan itu berakhir. Kamu jadi meromantisasi masa lalu dan mengabaikan red flag yang dulu jelas-jelas berkibar.
Stalking Media Sosial: Mengintip yang Membuat Penasaran
Di era digital ini, putus bukan berarti benar-benar hilang kontak. Media sosial mantan seringkali menjadi jendela yang sulit untuk tidak diintip. Kamu mungkin penasaran, apakah dia sudah bahagia dengan orang lain? Apakah dia menyesal telah kehilanganmu? Atau sekadar ingin tahu kabarnya saja.
Padahal, aktivitas stalking ini justru bisa menjadi bumerang. Melihat foto-foto bahagianya (yang belum tentu mencerminkan kenyataan), status-statusnya yang ambigu, atau bahkan interaksinya dengan orang lain bisa memicu berbagai macam emosi negatif. Kamu bisa jadi merasa cemburu, sedih, atau bahkan kembali meragukan keputusanmu untuk berpisah. Rasa penasaran yang awalnya kecil ini bisa tumbuh menjadi obsesi yang akhirnya mendorongmu untuk kembali menjalin komunikasi.
“Cuma Teman Kok”: Menjaga Kontak dengan Alasan Klasik
Alasan klasik ini seringkali menjadi gerbang pembuka untuk kembali ke hubungan yang toxic. Awalnya mungkin hanya sekadar saling menyapa, mengucapkan selamat ulang tahun, atau menanyakan kabar. Kamu meyakinkan diri sendiri bahwa kali ini berbeda, kalian bisa menjadi teman baik tanpa ada drama lagi.
Sayangnya, batasan antara “teman” dan “mantan” dalam kasus hubungan toxic seringkali sangat tipis. Emosi lama bisa dengan mudah muncul kembali, terutama jika salah satu pihak masih menyimpan harapan tersembunyi. Percakapan yang awalnya netral bisa berujung pada curhat-curhatan emosional, saling menyalahkan, atau bahkan ajakan untuk bertemu. Ingat, hubungan toxic biasanya memiliki pola yang berulang. Memberikan kesempatan kedua tanpa adanya perubahan signifikan dari kedua belah pihak, seringkali hanya akan mengulang siklus yang sama.
Merasa Bersalah: Beban Emosional yang Menjerat
Mungkin selama hubungan toxic kamu seringkali merasa bersalah atau bertanggung jawab atas semua masalah yang terjadi. Setelah putus pun, perasaan ini bisa saja masih menghantuimu. Kamu mungkin merasa bersalah karena telah menyakiti perasaannya, atau merasa bahwa kamu seharusnya bisa melakukan sesuatu yang berbeda untuk menyelamatkan hubungan tersebut.
Perasaan bersalah ini bisa menjadi celah bagi mantanmu untuk kembali masuk ke dalam hidupmu. Dengan sedikit manipulasi atauPlaying victim, dia bisa membuatmu merasa kasihan dan bertanggung jawab untuk “memperbaiki” keadaan. Padahal, hubungan yang sehat adalah tanggung jawab kedua belah pihak, dan kamu tidak seharusnya memikul beban sendirian.