Menciptakan Lingkungan Kerja yang Mendukung dan Inklusif
Perusahaan perlu memastikan bahwa setiap karyawan merasa didukung, dihargai, dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Lingkungan kerja yang inklusif akan membuat karyawan merasa menjadi bagian penting dari tim dan termotivasi untuk memberikan kontribusi yang maksimal.
Meningkatkan Apresiasi dan Pengakuan Terhadap Kinerja Karyawan
Setiap kontribusi, sekecil apapun, perlu diakui dan diapresiasi. Perusahaan dapat menerapkan berbagai program penghargaan, memberikan umpan balik positif secara reguler, dan memastikan bahwa karyawan merasa bahwa usaha mereka diperhatikan dan dihargai.
Mendorong Keseimbangan Antara Kehidupan Kerja dan Pribadi
Perusahaan perlu mendukung work-life balance karyawan dengan menetapkan ekspektasi kerja yang realistis, mendorong pengambilan cuti, dan menghindari budaya lembur yang berlebihan. Fleksibilitas dalam jam kerja atau opsi kerja jarak jauh juga dapat menjadi pertimbangan untuk membantu karyawan mengatur waktu mereka dengan lebih baik.
Membangun Komunikasi yang Efektif dan Transparan
Komunikasi yang terbuka dan jujur antara atasan dan bawahan sangat penting. Perusahaan perlu menciptakan saluran komunikasi yang efektif, mendengarkan keluhan dan masukan karyawan, serta memberikan informasi yang jelas mengenai tujuan perusahaan, harapan kinerja, dan peluang pengembangan karir.
Memberikan Kesempatan untuk Pengembangan Diri dan Karir
Karyawan akan lebih termotivasi jika mereka melihat adanya peluang untuk belajar dan mengembangkan diri di perusahaan. Menyediakan program pelatihan, mentoring, atau kesempatan untuk mengambil proyek yang menantang dapat meningkatkan engagement dan mengurangi risiko quiet quitting.
Mengevaluasi Beban Kerja dan Mendistribusikannya Secara Adil
Perusahaan perlu secara berkala mengevaluasi beban kerja setiap karyawan dan memastikan bahwa distribusinya adil dan realistis. Jika ada karyawan yang merasa kewalahan, perlu ada penyesuaian atau penambahan sumber daya untuk membantu mereka.
Quiet Quitting dan Hustle Culture: Dua Sisi Mata Uang?
Seperti yang disebutkan sebelumnya, quiet quitting seringkali dianggap sebagai respons atau bahkan penolakan terhadap hustle culture. Jika hustle culture mendorong kerja keras tanpa batas dan mengabaikan batasan pribadi, quiet quitting justru menekankan pada penetapan batasan yang jelas antara kehidupan kerja dan pribadi.
Namun, penting untuk diingat bahwa kedua ekstrem ini tidak ideal. Bekerja tanpa henti dapat menyebabkan burnout dan masalah kesehatan mental, sementara hanya melakukan yang minimal dapat menghambat perkembangan karir dan kontribusi terhadap tim.
Idealnya, perusahaan dan karyawan dapat menemukan titik tengah yang sehat. Karyawan tetap bersemangat dan memberikan yang terbaik dalam pekerjaan mereka, namun tetap memiliki batasan yang jelas dan memprioritaskan keseimbangan hidup. Perusahaan juga perlu menciptakan budaya kerja yang mendukung, menghargai, dan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berkembang tanpa mengorbankan kesejahteraan mereka.
Menatap Masa Depan Dunia Kerja yang Lebih Seimbang
Fenomena quiet quitting menjadi pengingat penting bagi perusahaan dan karyawan untuk mengevaluasi kembali ekspektasi dan prioritas dalam dunia kerja. Ini adalah kesempatan untuk membangun budaya kerja yang lebih sehat, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan.
Dengan memahami akar permasalahan quiet quitting dan mengambil langkah-langkah proaktif, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja di mana karyawan merasa termotivasi, dihargai, dan memiliki sense of belonging yang kuat. Pada akhirnya, karyawan yang engaged akan lebih produktif, inovatif, dan berkontribusi positif terhadap kesuksesan perusahaan secara keseluruhan. Mari bersama-sama menciptakan masa depan dunia kerja yang lebih seimbang dan memanusiakan.