Karir

Quiet Quitting, Malas atau Cerdas?

×

Quiet Quitting, Malas atau Cerdas?

Sebarkan artikel ini
Quiet Quitting, Malas atau Cerdas?
Quiet Quitting, Malas atau Cerdas? (www.freepik.com)

Kurangnya Komunikasi dan Transparansi

Lingkungan kerja yang kurang transparan dan komunikasi yang buruk antara atasan dan bawahan juga dapat memicu quiet quitting. Ketika karyawan tidak memahami tujuan perusahaan, tidak merasa didengar, atau tidak mendapatkan umpan balik yang jelas mengenai kinerja mereka, mereka bisa merasa terasing dan kurang termotivasi untuk terlibat lebih jauh.

Mengenali Tanda-Tanda Quiet Quitting di Sekitar Kita

Meskipun tidak selalu terlihat jelas, ada beberapa ciri-ciri yang bisa mengindikasikan bahwa seorang karyawan sedang melakukan quiet quitting:

  • Hanya Melakukan Tugas Sesuai Deskripsi: Mereka menyelesaikan pekerjaan yang diberikan, namun tidak pernah menawarkan bantuan atau mengambil inisiatif di luar tanggung jawab utama mereka.
  • Menghindari Tugas Tambahan: Mereka cenderung menolak atau mengelak jika diberikan tugas di luar lingkup pekerjaan mereka.
  • Pulang Tepat Waktu (Bahkan Terlalu Tepat): Mereka sangat memperhatikan jam kerja dan selalu pulang tepat waktu, bahkan jika ada pekerjaan yang sedikit tertunda. Lembur menjadi hal yang sangat dihindari.
  • Minim Partisipasi: Mereka kurang aktif dalam diskusi tim atau pertemuan yang tidak secara langsung berkaitan dengan tugas mereka. Mereka mungkin hadir secara fisik, namun tidak memberikan banyak kontribusi ide atau pendapat.
  • Kurang Antusias: Ada penurunan signifikan dalam antusiasme dan semangat mereka terhadap pekerjaan. Mereka mungkin terlihat lebih pasif dan kurang termotivasi.
  • Tidak Lagi Proaktif: Mereka tidak lagi mencari cara untuk meningkatkan kinerja atau memberikan ide-ide baru untuk kemajuan tim atau perusahaan.
Baca Juga  Ternyata Kesuksesan Bukan Tentang Kerja 16 Jam Sehari!

Dampak Quiet Quitting bagi Perusahaan: Lebih dari Sekadar Penurunan Produktivitas

Fenomena quiet quitting tentu saja tidak hanya berdampak pada individu karyawan, tetapi juga pada keseluruhan kinerja dan budaya perusahaan. Beberapa dampak negatif yang mungkin timbul antara lain:

  • Penurunan Produktivitas: Ketika karyawan hanya melakukan yang minimal, secara otomatis produktivitas tim dan perusahaan secara keseluruhan dapat menurun. Tidak ada lagi extra miles yang ditempuh untuk mencapai hasil yang lebih baik.
  • Kurangnya Inovasi dan Kreativitas: Inovasi sering kali muncul dari karyawan yang merasa termotivasi dan terlibat secara aktif dalam pekerjaan mereka. Quiet quitting dapat menghambat munculnya ide-ide baru dan solusi kreatif karena karyawan cenderung tidak ingin melampaui batasan tugas formal.
  • Potensi Konflik dan Ketidaknyamanan dalam Tim: Sikap quiet quitting dari beberapa anggota tim dapat menimbulkan rasa tidak adil atau beban lebih bagi karyawan lain yang masih memiliki motivasi tinggi. Hal ini dapat memicu konflik internal dan menurunkan semangat kerja tim secara keseluruhan.
  • Meningkatnya Tingkat Turnover Karyawan: Jika quiet quitting tidak ditangani dengan baik, karyawan yang merasa tidak puas dan tidak termotivasi berpotensi besar untuk mencari pekerjaan lain. Tingkat turnover yang tinggi tentu akan merugikan perusahaan dari segi biaya rekrutmen dan pelatihan karyawan baru.
  • Citra Perusahaan yang Kurang Baik: Perusahaan yang dikenal memiliki banyak karyawan yang tidak engaged dapat memiliki citra yang kurang baik di mata calon karyawan maupun publik secara umum. Hal ini dapat mempersulit perusahaan dalam menarik dan mempertahankan talenta terbaik.
Baca Juga  Toxic Positivity di Kantor, Kenapa Selalu ‘Semangat!’ Justru Berbahaya?

Langkah Proaktif Perusahaan dalam Menghadapi Quiet Quitting

Menyadari dampak negatif dari quiet quitting, perusahaan perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengatasi fenomena ini dan membangun lingkungan kerja yang lebih positif dan engaging.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *