perisainews.com – Quiet quitting belakangan ini menjadi perbincangan hangat, terutama di kalangan anak muda yang baru memasuki dunia profesional. Sebenarnya, apa sih yang dimaksud dengan istilah yang satu ini dan mengapa fenomena ini begitu menarik perhatian? Mari kita telaah lebih dalam.
Memahami Esensi Quiet Quitting: Bukan Sekadar Malas Bekerja
Banyak yang mungkin salah mengartikan quiet quitting sebagai tindakan benar-benar berhenti dari pekerjaan secara diam-diam. Padahal, kenyataannya jauh dari itu. Quiet quitting lebih menggambarkan sebuah kondisi mental dan perilaku seorang karyawan yang memutuskan untuk hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi tugasnya, tanpa ada inisiatif lebih atau kerelaan untuk melampaui ekspektasi minimal. Mereka tetap hadir secara fisik di kantor atau bekerja dari jarak jauh, namun secara emosional dan mental, mereka menarik diri dari engagement yang lebih dalam dengan pekerjaan mereka.
Ini bukanlah tentang karyawan yang tiba-tiba menjadi pemalas atau tidak bertanggung jawab. Lebih tepatnya, ini adalah respons terhadap berbagai faktor yang mungkin mereka alami di lingkungan kerja. Mereka tetap menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, menghadiri rapat, dan memenuhi tenggat waktu. Namun, semangat untuk memberikan yang terbaik, untuk berinovasi, atau untuk berkontribusi di luar lingkup kewajiban formal sudah meredup. Mereka memilih untuk “bekerja sesuai jam kerja” dan memprioritaskan kehidupan di luar pekerjaan.
Akar Permasalahan: Mengapa Quiet Quitting Semakin Marak?
Fenomena quiet quitting tidak muncul begitu saja. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicunya, dan penting bagi kita untuk memahami akar permasalahan ini agar dapat mencari solusi yang tepat.
Beban Kerja yang Tidak Realistis dan Berlebihan
Salah satu penyebab utama munculnya quiet quitting adalah beban kerja yang dirasakan terlalu berat dan tidak seimbang. Karyawan sering kali dihadapkan pada ekspektasi untuk melakukan lebih banyak dengan sumber daya yang terbatas. Ketika upaya ekstra terus-menerus tidak diiringi dengan pengakuan atau kompensasi yang setimpal, motivasi untuk melampaui tugas pokok pun perlahan menghilang. Mereka merasa terjebak dalam siklus kerja yang melelahkan tanpa akhir yang jelas.
Kurangnya Apresiasi dan Pengakuan
Manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk dihargai. Ketika seorang karyawan merasa bahwa kerja keras dan dedikasinya tidak diakui atau diapresiasi oleh perusahaan, wajar jika semangatnya menurun. Upaya ekstra terasa sia-sia jika tidak ada umpan balik positif atau pengakuan yang berarti. Akibatnya, mereka cenderung memilih untuk melakukan yang minimal saja, karena toh usaha lebih pun tidak memberikan dampak positif bagi mereka.
Ketidakseimbangan Antara Kehidupan Kerja dan Pribadi (Work-Life Balance)
Generasi muda, khususnya, semakin menyadari pentingnya keseimbangan antara kehidupan profesional dan personal. Mereka tidak lagi bersedia mengorbankan waktu dan energi untuk pekerjaan secara berlebihan, terutama jika hal tersebut berdampak negatif pada kesehatan mental dan kehidupan sosial mereka. Ketika pekerjaan terus-menerus menginvasi waktu pribadi, quiet quitting bisa menjadi cara untuk menetapkan batasan yang lebih tegas. Mereka ingin memiliki waktu dan energi yang cukup untuk keluarga, hobi, dan hal-hal lain yang mereka anggap penting di luar pekerjaan.
Budaya Hustle Culture yang Toxic
Sebelum quiet quitting menjadi tren, kita mengenal istilah hustle culture yang justru mendorong karyawan untuk bekerja tanpa batas, sering kali mengorbankan kesehatan dan kehidupan pribadi demi karir. Namun, semakin banyak orang yang menyadari bahwa budaya ini tidak berkelanjutan dan dapat berdampak buruk pada kesejahteraan jangka panjang. Quiet quitting bisa dilihat sebagai bentuk penolakan terhadap budaya kerja yang toksik ini, di mana karyawan memilih untuk memprioritaskan kesehatan mental dan batasan pribadi mereka.