Karir

Toxic Positivity di Kantor, Kenapa Selalu ‘Semangat!’ Justru Berbahaya?

×

Toxic Positivity di Kantor, Kenapa Selalu ‘Semangat!’ Justru Berbahaya?

Sebarkan artikel ini
Toxic Positivity di Kantor, Kenapa Selalu ‘Semangat!’ Justru Berbahaya?
Toxic Positivity di Kantor, Kenapa Selalu ‘Semangat!’ Justru Berbahaya? (www.freepik.com)

Membedakan Positif yang Sehat dan Toxic Positivity

Lantas, bagaimana cara membedakan antara budaya kerja positif yang sehat dan toxic positivity yang merugikan? Kuncinya terletak pada validasi emosi dan ruang untuk kerentanan. Budaya kerja positif yang sehat mengakui bahwa emosi manusia itu beragam, termasuk emosi negatif seperti sedih, marah, atau kecewa. Dalam lingkungan kerja yang sehat, karyawan merasa aman untuk mengungkapkan semua spektrum emosi tersebut tanpa takut dihakimi atau dikucilkan. Mereka tahu bahwa rekan kerja dan atasan mereka akan memberikan dukungan dan empati, bukan justru menyuruh mereka untuk “selalu positif”.

Sebaliknya, toxic positivity justru menolak validasi emosi negatif. Dalam budaya ini, emosi negatif dianggap sebagai sesuatu yang tabu atau tidak produktif. Karyawan yang menunjukkan emosi negatif seringkali dianggap lemah, tidak profesional, atau bahkan menjadi “pengganggu” suasana positif di kantor. Mereka didorong untuk segera “mengatasi” emosi negatif mereka dengan cara memendamnya atau menggantinya dengan emosi positif palsu.

Perbedaan mendasar lainnya terletak pada tujuan dan dampaknya. Budaya kerja positif yang sehat bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan secara holistik, baik secara fisik maupun mental. Budaya ini berfokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif, kolaboratif, dan inklusif, di mana setiap individu merasa dihargai dan didukung untuk berkembang. Dampaknya adalah peningkatan motivasi, produktivitas, dan kepuasan kerja karyawan secara berkelanjutan.

Baca Juga  Psikolog Bongkar Rahasia Gelap Gen Z Soal Uang

Sementara itu, toxic positivity seringkali didorong oleh tekanan eksternal atau tujuan jangka pendek. Perusahaan mungkin menerapkan budaya toxic positivity sebagai cara untuk meningkatkan image positif di mata publik, atau untuk memotivasi karyawan agar bekerja lebih keras tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Dampaknya justru kontraproduktif, yaitu penurunan motivasi jangka panjang, peningkatan turnover karyawan, dan kerusakan reputasi perusahaan dalam jangka panjang.

Mengatasi Toxic Positivity di Kantor

Mengatasi toxic positivity di kantor membutuhkan komitmen dan upaya bersama dari seluruh pihak, mulai dari manajemen puncak hingga karyawan level staf. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

  1. Edukasi dan Kesadaran: Langkah pertama adalah meningkatkan kesadaran tentang toxic positivity di seluruh organisasi. Manajemen perlu mengedukasi karyawan tentang definisi, dampak negatif, dan cara membedakan toxic positivity dari budaya kerja positif yang sehat. Sesi workshop, seminar, atau artikel internal dapat digunakan sebagai media edukasi.

  2. Menciptakan Ruang Aman untuk Berekspresi: Perusahaan perlu menciptakan lingkungan kerja di mana karyawan merasa aman untuk mengungkapkan semua spektrum emosi mereka, termasuk emosi negatif. Hal ini dapat diwujudkan dengan membangun budaya komunikasi yang terbuka dan jujur, di mana karyawan merasa didengar dan dihargai pendapatnya. Manajer perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang baik dan responsif terhadap keluhan atau kekhawatiran karyawan.

  3. Validasi Emosi dan Empati: Manajemen dan rekan kerja perlu belajar untuk memvalidasi emosi negatif karyawan dan menunjukkan empati. Ketika seorang karyawan mengungkapkan kesedihan atau kekecewaan, respon yang tepat bukanlah menyuruh mereka untuk “berpikir positif”, melainkan mendengarkan dengan penuh perhatian, mengakui perasaan mereka, dan menawarkan dukungan. Ungkapan seperti “Saya mengerti bagaimana perasaanmu” atau “Itu pasti sulit” jauh lebih bermakna daripada sekadar “Semangat ya!”.

  4. Promosi Budaya Kerja yang Seimbang: Perusahaan perlu mempromosikan budaya kerja yang seimbang, yang mengakui pentingnya kepositifan, namun juga memberikan ruang bagi kerentanan dan emosi negatif yang sehat. Budaya kerja yang ideal adalah budaya yang mendorong karyawan untuk menjadi optimis dan proaktif, namun juga memberikan dukungan ketika mereka menghadapi kesulitan atau kegagalan.

  5. Meninjau Kembali Kebijakan dan Praktik Perusahaan: Perusahaan perlu meninjau kembali kebijakan dan praktik yang mungkin secara tidak sengaja mempromosikan toxic positivity. Misalnya, kebijakan yang terlalu menekankan pada pencapaian target tanpa memperhatikan kesejahteraan karyawan, atau praktik komunikasi internal yang hanya menyoroti keberhasilan dan mengabaikan tantangan yang dihadapi. Kebijakan dan praktik yang tidak sehat perlu direvisi atau dihapuskan.

  6. Konseling dan Dukungan Kesehatan Mental: Perusahaan perlu menyediakan akses terhadap layanan konseling dan dukungan kesehatan mental bagi karyawan. Program Employee Assistance Program (EAP) atau kerjasama dengan psikolog atau konselor profesional dapat menjadi solusi yang efektif. Karyawan yang merasa kesulitan mengatasi dampak toxic positivity atau masalah kesehatan mental lainnya dapat mencari bantuan profesional tanpa stigma.

Toxic positivity di kantor adalah fenomena nyata yang dapat merugikan kesehatan mental karyawan dan produktivitas tim. Meskipun niat awalnya mungkin baik, yaitu untuk menciptakan budaya kerja yang positif dan termotivasi, toxic positivity justru dapat berbalik menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan bijak. Dengan meningkatkan kesadaran, menciptakan ruang aman untuk berekspresi, memvalidasi emosi, dan mempromosikan budaya kerja yang seimbang, perusahaan dapat mengatasi toxic positivity dan membangun lingkungan kerja yang benar-benar positif, suportif, dan berkelanjutan. Budaya kerja yang sehat adalah budaya yang mengakui bahwa menjadi manusia berarti merasakan berbagai macam emosi, dan bahwa kerentanan adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *