HubunganKeluargaPernikahan

Pernikahan Runtuh Saat Anak Dewasa? Ini Penyebabnya!

×

Pernikahan Runtuh Saat Anak Dewasa? Ini Penyebabnya!

Sebarkan artikel ini
Pernikahan Runtuh Saat Anak Dewasa? Ini Penyebabnya!
Pernikahan Runtuh Saat Anak Dewasa? Ini Penyebabnya! (www.freepik.com)

perisainews.com – Perceraian di usia senja, sebuah fenomena yang mungkin terdengar ironis, nyatanya semakin banyak terjadi justru ketika anak-anak telah dewasa dan mandiri. Setelah puluhan tahun membangun biduk rumah tangga, melewati suka dan duka bersama, mengapa justru di masa yang seharusnya tenang dan menikmati hari tua, perpisahan menjadi pilihan? Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan besar dan menarik untuk kita telaah lebih dalam.

Banyak yang mengira bahwa tantangan terbesar dalam pernikahan terjadi saat membesarkan anak. Namun, ketika anak-anak telah tumbuh dewasa dan memiliki kehidupan sendiri, justru muncul dinamika baru yang tak terduga dalam hubungan suami istri. Beberapa faktor kompleks melatarbelakangi fenomena “cerai setelah anak dewasa” ini.

Melepas “Lem” yang Selama Ini Merekatkan

Selama bertahun-tahun, kehadiran anak seringkali menjadi “perekat” yang kuat dalam sebuah pernikahan. Fokus dan energi pasangan banyak tercurah untuk membesarkan dan mendidik anak. Mereka bekerja sama sebagai tim, mengatasi berbagai tantangan terkait anak, dan secara tidak langsung, hal ini memperkuat ikatan mereka. Ketika anak-anak telah mandiri dan meninggalkan rumah, peran sebagai orang tua aktif berkurang drastis. Pasangan yang selama ini terbiasa berfokus pada anak, tiba-tiba dihadapkan pada hubungan mereka berdua saja. Jika fondasi emosional dan komunikasi yang sehat tidak terbangun dengan baik di masa-masa sebelumnya, “lem” yang selama ini merekatkan mereka menghilang, dan retakan yang mungkin sudah ada sejak lama mulai terlihat jelas.

Baca Juga  Bahaya Tersembunyi! 7 Silent Killer Ini Mengintai Hubunganmu

Perubahan Prioritas dan Tujuan Hidup

Seiring bertambahnya usia, prioritas dan tujuan hidup seseorang bisa mengalami pergeseran signifikan. Apa yang dulu dianggap penting saat usia 30-an atau 40-an, mungkin tidak lagi relevan di usia 50-an atau 60-an. Salah satu pasangan mungkin ingin menikmati masa pensiun dengan bepergian dan mengejar hobi yang tertunda, sementara pasangannya mungkin lebih memilih ketenangan di rumah. Perbedaan visi tentang bagaimana menikmati masa tua ini bisa menjadi sumber konflik yang mendalam. Jika tidak ada kompromi dan kesepahaman, jurang pemisah antara keduanya bisa semakin lebar.

Menemukan Kembali Diri Sendiri

Setelah bertahun-tahun mengabdikan diri untuk keluarga, tak jarang individu kehilangan identitas diri di luar peran sebagai suami/istri atau orang tua. Ketika anak-anak telah mandiri, muncul kesempatan untuk “menemukan kembali” diri sendiri. Proses ini bisa menjadi momen yang membahagiakan, namun juga bisa menjadi pemicu keretakan jika salah satu pasangan merasa pasangannya telah berubah menjadi orang yang asing. Mereka mungkin menyadari bahwa nilai-nilai, minat, dan bahkan kepribadian mereka telah berkembang ke arah yang berbeda, membuat mereka merasa tidak lagi memiliki kecocokan seperti dulu.

Baca Juga  5 Komitmen Tak Tertulis dalam Pernikahan yang Sering Terabaikan

Beban Emosional yang Terpendam

Selama bertahun-tahun pernikahan, berbagai masalah dan kekecewaan mungkin terpendam dan tidak pernah terselesaikan dengan baik. Demi menjaga keharmonisan keluarga atau demi anak-anak, pasangan mungkin memilih untuk mengabaikan atau menahan emosi negatif. Namun, seiring berjalannya waktu, beban emosional ini bisa menumpuk dan akhirnya meledak ketika “alasan” untuk bertahan (yaitu anak-anak) sudah tidak lagi menjadi prioritas utama. Masa pensiun yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai justru menjadi momen di mana semua unek-unek dan kekecewaan masa lalu muncul kembali.

Harapan yang Tidak Realistis dan Kekurangan Komunikasi

Banyak pernikahan di usia muda dibangun atas dasar idealisme dan harapan yang mungkin tidak realistis. Seiring berjalannya waktu, realitas pernikahan yang penuh dengan tantangan dan kompromi bisa membuat salah satu atau kedua pasangan merasa kecewa. Kurangnya komunikasi yang efektif juga menjadi faktor krusial. Pasangan yang tidak terbiasa membicarakan kebutuhan, harapan, dan kekecewaan mereka secara terbuka cenderung membiarkan masalah kecil menumpuk menjadi masalah besar yang sulit diatasi. Ketika anak-anak sudah dewasa, dan “topeng” demi keharmonisan keluarga tidak lagi diperlukan, kejujuran yang terlambat justru bisa berujung pada perpisahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *