perisainews.com – Sebagai orang tua, ada banyak hal yang kita impikan untuk anak-anak kita. Melihat mereka tumbuh mandiri, meraih impian, dan membangun kehidupan mereka sendiri adalah salah satu kebahagiaan terbesar. Namun, seiring bertambahnya usia anak-anak kita, terkadang ada beberapa frasa yang tanpa sadar terlontar dan bisa membuat kita sebagai orang tua merasa gamang, khawatir, atau bahkan sedikit kecewa. Salah satu frasa yang mungkin menjadi momok adalah, “Kapan aku bisa pindah kembali?” Sebuah pertanyaan sederhana, namun seringkali membawa implikasi yang kompleks.
Mengapa Pertanyaan “Kapan Aku Bisa Pindah Kembali?” Begitu Mengkhawatirkan?
Bukan berarti orang tua tidak menyayangi anak-anak mereka. Justru sebaliknya, kasih sayang orang tua tidak pernah pudar. Namun, pertanyaan ini seringkali muncul ketika anak dewasa menghadapi tantangan dalam hidup mereka, baik itu masalah finansial, kesulitan mencari pekerjaan, hubungan yang kandas, atau sekadar merasa tidak mampu menghadapi kerasnya dunia. Mendengar pertanyaan ini bisa memicu berbagai kekhawatiran di benak orang tua. Apakah anak saya baik-baik saja? Apakah mereka gagal dalam mencapai kemandirian yang selama ini saya harapkan? Bagaimana masa depan mereka?
Menurut data dari Pew Research Center pada tahun 2023, sekitar 45% orang dewasa muda berusia 18-29 tahun di Amerika Serikat tinggal bersama orang tua mereka. Angka ini meningkat dibandingkan beberapa dekade sebelumnya, dan salah satu faktor utamanya adalah masalah ekonomi. Di Indonesia, meskipun datanya mungkin tidak sespesifik itu, fenomena anak dewasa yang kembali tinggal dengan orang tua juga semakin umum terlihat, terutama di kota-kota besar dengan biaya hidup yang tinggi.
Lebih dari Sekadar Tempat Tinggal: Implikasi Emosional dan Finansial
Pertanyaan “Kapan aku bisa pindah kembali?” bukan hanya sekadar permintaan tempat tinggal gratis. Ada berbagai lapisan emosional dan finansial yang menyertainya. Bagi anak dewasa, kembali ke rumah orang tua mungkin terasa seperti langkah mundur, sebuah pengakuan bahwa mereka belum berhasil sepenuhnya dalam mencapai kemandirian. Hal ini bisa memicu perasaan bersalah, malu, atau bahkan frustrasi.
Di sisi lain, bagi orang tua, menerima kembali anak dewasa ke rumah bisa membawa berbagai tantangan baru. Ruang pribadi yang mungkin sudah berkurang setelah anak-anak meninggalkan rumah harus kembali dibagi. Kebiasaan dan rutinitas yang sudah mapan harus kembali disesuaikan. Belum lagi potensi beban finansial tambahan, mulai dari makanan, tagihan listrik, hingga kebutuhan lainnya.
Frasa Lain yang Mungkin Membuat Orang Tua Terenyuh
Selain pertanyaan tentang pindah kembali, ada beberapa frasa lain yang seringkali tidak ingin didengar orang tua dari anak-anak dewasa mereka:
“Aku Lagi Bokek Nih, Bisa Bantu?”
Memang wajar bagi anak untuk meminta bantuan orang tua sesekali, terutama dalam situasi darurat. Namun, jika permintaan bantuan finansial ini terjadi terlalu sering atau untuk hal-hal yang kurang prioritas, orang tua bisa merasa khawatir tentang kemampuan anak dalam mengelola keuangan mereka sendiri. Orang tua tentu ingin membantu, tetapi mereka juga memiliki perencanaan keuangan sendiri untuk masa depan mereka.
“Kayaknya Aku Nggak Cocok Kerja Kantoran Deh…”
Mencari pekerjaan yang sesuai memang tidak mudah, dan setiap orang memiliki preferensi karir yang berbeda. Namun, jika frasa ini diucapkan berulang kali tanpa adanya upaya konkret untuk mencari alternatif atau mengembangkan keterampilan yang relevan, orang tua bisa merasa cemas tentang masa depan finansial anak mereka. Mereka mungkin bertanya-tanya, apa rencana jangka panjang anak saya? Bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhan hidup mereka?