HubunganPernikahan

Tanda Kamu Terlalu ‘Baik’ dalam Pernikahan Toxic

×

Tanda Kamu Terlalu ‘Baik’ dalam Pernikahan Toxic

Sebarkan artikel ini
Tanda Kamu Terlalu ‘Baik’ dalam Pernikahan Toxic
Tanda Kamu Terlalu ‘Baik’ dalam Pernikahan Toxic (www.freepik.com)

perisainews.com – Pernikahan yang bahagia adalah dambaan setiap pasangan, namun kenyataannya, tak sedikit yang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat atau bahkan toxic. Jika kamu merasa ada yang tidak beres dalam bahtera rumah tanggamu, bisa jadi kamu selama ini terlalu berusaha menjadi pasangan yang ‘baik’ hingga mengorbankan diri sendiri. Mengenali tanda-tandanya adalah langkah awal untuk perubahan yang lebih sehat.

Mengapa Sikap ‘Terlalu Baik’ Bisa Berujung Toxic?

Sikap yang awalnya tampak sebagai kebaikan dan pengorbanan, jika berlebihan dan tidak diimbangi dengan batasan yang sehat, justru dapat menjadi bumerang. Pasangan yang terlalu baik cenderung memprioritaskan kebutuhan dan keinginan pasangannya di atas diri sendiri secara terus-menerus. Hal ini bisa menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan, di mana satu pihak merasa berhak untuk terus dilayani dan dipenuhi keinginannya, sementara pihak lain merasa tertekan dan kehilangan identitasnya.

Lebih lanjut, sikap ‘terlalu baik’ tanpa adanya komunikasi yang terbuka dan asertif dapat membuat masalah-masalah kecil terpendam dan menumpuk menjadi bom waktu. Pasangan yang selalu mengalah dan menghindari konflik demi kedamaian semu, pada akhirnya akan merasa frustrasi, tidak dihargai, dan bahkan membenci pasangannya sendiri. Inilah mengapa, batasan yang sehat dan kemampuan untuk mengatakan ‘tidak’ adalah fondasi penting dalam hubungan yang setara dan saling menghormati.

Bukti Nyata Kamu Mungkin ‘Terlalu Baik’ dalam Pernikahan Toxic

Coba renungkan beberapa situasi berikut. Jika kamu seringkali mengalaminya, ini bisa menjadi indikasi bahwa kamu mungkin terlalu ‘baik’ dalam pernikahan yang sebenarnya tidak sehat:

Selalu Mengalah dan Minta Maaf, Bahkan Saat Bukan Kesalahanmu

Apakah kamu sering menjadi pihak pertama yang meminta maaf setelah pertengkaran, meskipun kamu merasa tidak bersalah? Atau bahkan, kamu meminta maaf atas perasaan pasanganmu, seolah-olah kamu bertanggung jawab atas emosi mereka? Sikap ini, yang mungkin awalnya bertujuan untuk meredakan tensi, justru bisa membuat pasanganmu merasa bahwa mereka selalu benar dan kamu selalu salah. Dalam jangka panjang, ini akan mengikis harga dirimu dan membuatmu merasa tidak berdaya.

Baca Juga  Gebetan Ilang? Mungkin Kamu Chat Kayak Gini!

Mengabaikan Kebutuhan dan Keinginan Diri Sendiri Demi Pasangan

Apakah kamu sering menunda atau bahkan mengurungkan keinginanmu demi memenuhi keinginan pasangan? Misalnya, kamu rela tidak bertemu teman-temanmu karena pasanganmu tidak suka, atau kamu selalu mengikuti pilihan film atau restoran dari pasanganmu meskipun kamu tidak menikmatinya. Pengorbanan sesekali memang wajar dalam pernikahan, namun jika ini menjadi pola yang terus-menerus, kamu akan kehilangan koneksi dengan diri sendiri dan merasa hampa. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Social and Personal Relationships menunjukkan bahwa individu yang merasa kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi dalam pernikahan cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi.

Merasa Bertanggung Jawab Penuh Atas Kebahagiaan Pasangan

Apakah kamu merasa bahwa kebahagiaan pasanganmu sepenuhnya bergantung padamu? Kamu berusaha keras untuk selalu menyenangkan mereka, takut jika mereka merasa sedih atau marah. Padahal, setiap individu bertanggung jawab atas kebahagiaannya sendiri. Memikul beban emosional pasangan secara terus-menerus akan menguras energimu dan menciptakan ketergantungan yang tidak sehat. Ingatlah bahwa kamu adalah pasangan, bukan terapis atau entertainer pribadi.

Baca Juga  Bertahan atau Berpisah? Psikologi Korban Perselingkuhan yang Jarang Diketahui

Selalu Mencari Pembenaran Atas Perilaku Buruk Pasangan

Ketika teman atau keluarga mengkritik perilaku pasanganmu, apakah kamu selalu mencari alasan untuk membelanya? Mungkin kamu mengatakan bahwa mereka sedang stres, lelah, atau memiliki masa lalu yang sulit. Meskipun empati itu penting, terus-menerus membenarkan perilaku yang jelas-jelas merugikanmu atau tidak menghormati batas akan membuatmu terjebak dalam siklus abusive. Kamu perlu mengakui bahwa perilaku buruk tetaplah perilaku buruk, terlepas dari alasannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *