perisainews.com – “Orang tua kita dulu bisa dengan relatif mudah membeli rumah, kenapa kita sekarang seolah hanya ditakdirkan untuk terus membayar kontrakan?” Pertanyaan ini mungkin seringkali terlintas di benak banyak anak muda dan keluarga baru saat ini. Kita menyaksikan orang tua kita di usia yang sama sudah mapan dengan aset properti, sementara kita masih berkutat dengan biaya sewa yang terus merangkak naik. Fenomena ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah realita sosial ekonomi yang kompleks dan patut kita telaah lebih dalam.
Mengapa Dulu Lebih Mudah?
Untuk memahami kondisi saat ini, kita perlu melihat ke belakang. Beberapa dekade lalu, kondisi ekonomi global dan nasional jauh berbeda. Suku bunga bank cenderung lebih stabil dan terjangkau, inflasi relatif terkendali, dan harga properti belum melambung setinggi sekarang. Selain itu, program-program perumahan pemerintah dan skema kredit kepemilikan rumah (KPR) juga lebih mudah diakses dengan persyaratan yang tidak seketat sekarang.
Generasi orang tua kita juga tumbuh di era dengan persaingan tenaga kerja yang tidak sekompetitif saat ini. Lapangan pekerjaan yang tersedia lebih banyak, dan kenaikan gaji seringkali sejalan dengan laju inflasi. Hal ini memungkinkan mereka untuk menabung lebih banyak dan memiliki daya beli yang lebih kuat terhadap aset, termasuk properti.
Realita Generasi Sekarang: Terjepit di Antara Banyak Tanggung Jawab
Kondisi saat ini jauh berbeda. Kita, generasi yang sering disebut sebagai “generasi sandwich,” berada di antara dua tekanan besar: tanggung jawab terhadap orang tua yang semakin menua dan kebutuhan untuk membangun masa depan diri sendiri dan keluarga. Biaya hidup yang terus meningkat, harga properti yang melambung tinggi, dan persaingan kerja yang ketat menjadi tantangan sehari-hari.
Harga Properti yang Meroket: Di kota-kota besar, harga tanah dan bangunan naik berkali-kali lipat dalam beberapa tahun terakhir. Kenaikan ini jauh melampaui pertumbuhan pendapatan rata-rata masyarakat. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa indeks harga properti residensial terus mengalami peningkatan signifikan setiap tahunnya. Hal ini membuat impian memiliki rumah pertama terasa semakin jauh.
Gaji yang Stagnan: Sementara harga kebutuhan pokok dan properti terus naik, pertumbuhan gaji seringkali tidak sebanding. Banyak anak muda yang bekerja keras namun penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar sewa, tanpa ada sisa yang signifikan untuk ditabung sebagai uang muka rumah.
Tanggung Jawab Ganda: Generasi ini juga seringkali dihadapkan pada tanggung jawab finansial terhadap orang tua. Biaya pengobatan, kebutuhan sehari-hari, dan berbagai keperluan lain orang tua menjadi beban tambahan di tengah himpitan ekonomi. Kondisi ini semakin mempersulit upaya untuk mengumpulkan dana demi membeli rumah.
Pinjaman Online dan Gaya Hidup Konsumtif: Kemudahan akses terhadap pinjaman online dan godaan gaya hidup konsumtif juga menjadi faktor yang memperburuk situasi. Terjebak dalam lingkaran utang dan pengeluaran yang tidak terkontrol membuat impian memiliki rumah semakin sulit diwujudkan.
Bukan Hanya Soal Kemampuan Ekonomi
Selain faktor ekonomi, ada pula perubahan gaya hidup dan prioritas generasi saat ini. Beberapa anak muda mungkin lebih memilih untuk fokus pada pengalaman, pendidikan, atau investasi lain daripada langsung membeli rumah. Namun, bagi sebagian besar, keinginan untuk memiliki hunian tetap ada, hanya saja terbentur oleh kondisi ekonomi yang tidak mendukung.