Keuangan

Doom Spending: Cara Cerdas atau Jalan Pintas ke Kebangkrutan?

×

Doom Spending: Cara Cerdas atau Jalan Pintas ke Kebangkrutan?

Sebarkan artikel ini
Doom Spending: Cara Cerdas atau Jalan Pintas ke Kebangkrutan?
Doom Spending: Cara Cerdas atau Jalan Pintas ke Kebangkrutan? (www.freepik.com)

perisainews.com – Pernahkah Anda merasa ingin membeli sesuatu secara impulsif setelah mengalami hari yang buruk? Atau mungkin Anda merasa “toh besok juga kiamat” (tentu saja ini hanya hiperbola) sehingga tidak terlalu memikirkan pengeluaran? Jika iya, Anda mungkin sedang mengalami apa yang disebut doom spending, sebuah fenomena pengeluaran berlebihan yang dipicu oleh perasaan negatif, kecemasan, atau ketidakpastian tentang masa depan. Memahami tanda-tandanya adalah langkah awal yang krusial agar keuangan Anda tidak terjerumus lebih dalam.

Apa Itu Doom Spending dan Mengapa Ini Berbahaya?

Secara sederhana, doom spending adalah pola perilaku di mana seseorang menghabiskan uang sebagai bentuk pelarian atau kompensasi atas perasaan negatif seperti stres, kesepian, atau ketidakpastian. Ini bisa berupa pembelian makanan cepat saji secara berlebihan, shopping spree tanpa perencanaan, atau bahkan berlangganan berbagai layanan streaming yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.

Baca Juga  Berapa Gaji Ideal di Usia Kamu? Temukan Jawabannya di Sini!

Bahayanya terletak pada efek jangka panjangnya terhadap kondisi finansial. Kebiasaan ini dapat dengan cepat menguras tabungan, meningkatkan utang kartu kredit, dan menghambat pencapaian tujuan keuangan di masa depan. Alih-alih mengatasi akar masalah emosional, doom spending justru menciptakan masalah baru berupa tekanan finansial yang semakin memperburuk keadaan.

Mengenali Bendera Merah: Tanda-Tanda Anda Mungkin Terjebak Doom Spending

Penting untuk menyadari apakah Anda sedang berada di jalur doom spending. Beberapa tanda-tanda berikut bisa menjadi peringatan:

Sering Berbelanja Saat Merasa Sedih atau Stres

Apakah Anda mendapati diri Anda membuka e-commerce atau pergi ke pusat perbelanjaan setiap kali merasa tertekan, cemas, atau bosan? Jika belanja menjadi mekanisme koping utama Anda, ini adalah lampu merah. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Consumer Research menunjukkan adanya korelasi antara emosi negatif dan perilaku pembelian impulsif.

Baca Juga  Diam-diam Banyak Orang Justru Sukses Setelah Di-PHK, Apa Rahasia Mereka?

Pembelian Impulsif yang Semakin Meningkat

Perhatikan apakah frekuensi dan nilai pembelian impulsif Anda semakin meningkat dari waktu ke waktu. Jika dulu Anda hanya membeli kopi mahal sesekali, kini Anda mungkin membeli berbagai barang yang sebenarnya tidak Anda butuhkan setiap minggu. Data dari Bank Indonesia menunjukkan adanya peningkatan transaksi e-commerce yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang sayangnya juga berpotensi memicu pengeluaran impulsif jika tidak dikelola dengan baik.

Merasa Bersalah atau Menyesal Setelah Berbelanja

Setelah melakukan pembelian impulsif, apakah Anda sering merasa bersalah, menyesal, atau bahkan menyembunyikan barang belanjaan dari orang lain? Perasaan negatif setelah berbelanja adalah indikasi kuat bahwa pembelian tersebut tidak didasari oleh kebutuhan riil, melainkan oleh dorongan emosional sesaat.

Baca Juga  7 Kesalahan Investasi Fatal yang Harus Anda Hindari Sekarang!

Mengabaikan Anggaran dan Tujuan Keuangan

Jika Anda mulai mengabaikan anggaran bulanan atau tujuan keuangan jangka panjang Anda demi memuaskan keinginan belanja sesaat, ini adalah tanda bahaya. Ketika emosi mengambil alih kendali, logika dan perencanaan finansial seringkali terabaikan. Survei dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih perlu ditingkatkan, yang membuat sebagian orang lebih rentan terhadap perilaku keuangan impulsif.

Rasionalisasi Pengeluaran yang Tidak Perlu

Apakah Anda sering mencari-cari alasan untuk membenarkan pembelian yang sebenarnya tidak penting? Misalnya, “Saya berhak mendapatkan ini setelah bekerja keras” atau “Ini diskon besar, sayang kalau tidak dibeli.” Rasionalisasi adalah cara pikiran kita menjustifikasi tindakan yang sebenarnya tidak sehat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *