perisainews.com – Keyakinan salah dalam membesarkan anak ternyata masih banyak beredar, dan tanpa disadari, kita mungkin meneruskan pola yang kurang tepat. Di era yang serba cepat ini, penting untuk kita meninjau ulang pelajaran lama yang tidak lagi relevan untuk anak agar mereka bisa tumbuh optimal dan bahagia.
Dulu, membesarkan anak mungkin terkesan lebih sederhana. Aturan baku seolah sudah tersedia, dan kita tinggal mengikutinya. Namun, zaman terus berubah. Informasi semakin mudah diakses, penelitian tentang perkembangan anak semakin maju, dan kita pun jadi lebih sadar akan dampak jangka panjang dari pola didik yang kita terapkan. Yuk, kita bedah 9 pelajaran lama yang sebaiknya kita tinggalkan, dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih relevan dan positif untuk anak-anak generasi sekarang.
1. “Anak Harus Selalu Nurut dan Tidak Boleh Membantah”
Dulu, kepatuhan anak seringkali menjadi tolok ukur keberhasilan orang tua dalam mendidik. Anak yang nurut dianggap baik, sementara yang membantah atau memiliki pendapat berbeda dianggap nakal atau tidak sopan. Namun, di era sekarang, memaksakan kepatuhan buta justru bisa menghambat perkembangan anak.
Mengapa Ini Tidak Relevan?
data-sourcepos=”15:1-15:412″>Memaksakan anak untuk selalu nurut tanpa memberikan ruang untuk berpendapat atau bertanya bisa mematikan rasa ingin tahu dan kreativitas mereka. Anak jadi takut untuk mengungkapkan ide atau kekhawatiran, karena takut dianggap membantah. Selain itu, anak yang terbiasa selalu nurut bisa kesulitan mengambil keputusan sendiri dan menjadi lebih rentan terhadap tekanan teman sebaya atau pengaruh negatif dari luar.
Pendekatan yang Lebih Baik: Menghargai Pendapat dan Mengajak Diskusi
Alih-alih menuntut kepatuhan mutlak, cobalah untuk lebih terbuka terhadap pendapat anak. Dengarkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Ajak mereka berdiskusi tentang alasan di balik aturan yang kamu buat. Beri mereka kesempatan untuk menyampaikan argumen, tentunya dengan tetap menghargai batasan yang ada. Dengan cara ini, anak akan belajar berpikir kritis, berkomunikasi efektif, dan merasa dihargai sebagai individu.
2. “Jangan Terlalu Memanjakan, Nanti Jadi Manja”
Siapa yang tidak familiar dengan kalimat ini? Ketakutan akan “memanjakan” anak seringkali membuat orang tua bersikap keras atau kurang responsif terhadap kebutuhan emosional anak. Dulu, anak yang sering dipeluk atau ditenangkan saat menangis dianggap akan tumbuh menjadi anak yang manja dan lemah.
Mengapa Ini Tidak Relevan?
Penelitian modern justru menunjukkan sebaliknya. Anak yang merasa aman dan dicintai justru akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri dan resilien. Responsif terhadap kebutuhan anak, termasuk kebutuhan emosional mereka, bukanlah bentuk pemanjaan, melainkan fondasi penting untuk perkembangan yang sehat. Ketika anak tahu bahwa mereka bisa mengandalkan orang tua untuk memberikan dukungan dan kasih sayang, mereka akan lebih berani menjelajahi dunia dan menghadapi tantangan.
Pendekatan yang Lebih Baik: Responsif dan Penuh Kasih Sayang
Alih-alih menahan diri untuk tidak “memanjakan”, berikan anak kasih sayang dan perhatian yang mereka butuhkan. Peluk mereka saat mereka sedih, dengarkan cerita mereka dengan penuh perhatian, dan validasi perasaan mereka. Tunjukkan bahwa kamu selalu ada untuk mereka, bukan hanya saat mereka berhasil, tapi juga saat mereka mengalami kesulitan. Batasan tetap penting, namun berikan batasan dengan kasih sayang dan pengertian, bukan dengan kekerasan atau penolakan.
3. “Disiplin Keras Itu Perlu, Biar Anak Tidak Keras Kepala”
Hukuman fisik, bentakan, atau omelan seringkali dianggap sebagai cara efektif untuk mendisiplinkan anak di masa lalu. Keyakinan bahwa “disiplin keras” akan membuat anak patuh dan tidak keras kepala masih banyak dianut oleh sebagian orang tua.