6. Information Hoarding: Informasi Itu Kekuatan, Bukan untuk Dibagi
data-sourcepos=”65:1-65:203″>Dulu, information hoarding mungkin dianggap sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan dan keunggulan kompetitif. Semakin banyak informasi yang kamu kuasai, semakin penting posisimu di perusahaan.
Kenapa dulu penting? Dulu, informasi tidak mudah diakses dan dibagikan. Orang yang memiliki akses ke informasi penting dianggap memiliki value lebih tinggi. Information hoarding dianggap sebagai cara untuk meningkatkan bargaining power dan job security.
Kenapa sekarang menghambat? Era transparansi dan kolaborasi menuntut information sharing. Information hoarding justru bisa menghambat inovasi, efisiensi, dan pengambilan keputusan yang tepat. Dalam lingkungan kerja yang kolaboratif, berbagi informasi adalah kunci untuk menciptakan sinergi dan mencapai tujuan bersama. Menyembunyikan informasi justru bisa menciptakan bottleneck, miskomunikasi, dan keputusan yang buruk.
Solusinya: Jadilah information sharer bukan information hoarder. Bagikan pengetahuan dan informasi yang kamu miliki dengan tim dan kolega. Gunakan platform kolaborasi untuk memudahkan knowledge sharing. Ingat, “Knowledge is power. Information is liberating. Education is the premise of progress, in every society, in every family.” Semakin banyak kamu berbagi, semakin banyak yang kamu dapatkan.
7. Blaming Culture: Menyalahkan Orang Lain, Cuci Tangan dari Masalah
Dulu, budaya menyalahkan mungkin dianggap sebagai cara untuk menjaga akuntabilitas dan menghindari kesalahan. Mencari kambing hitam dianggap lebih mudah daripada mengakui kesalahan dan mencari solusi.
Kenapa dulu penting? Dulu, kesalahan dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan harus dihindari sebisa mungkin. Menyalahkan orang lain dianggap sebagai cara untuk melindungi diri sendiri dan menghindari hukuman.
Kenapa sekarang menghambat? Era continuous improvement dan learning organization menuntut budaya accountability tanpa menyalahkan. Budaya menyalahkan justru bisa menciptakan lingkungan kerja yang toksik, menghambat inovasi, dan mencegah pembelajaran dari kesalahan. Dalam tim yang solid, kesalahan dianggap sebagai peluang untuk belajar dan berkembang bersama. Fokusnya adalah mencari solusi, bukan mencari siapa yang salah.
Solusinya: Kembangkan budaya accountability dan solution-oriented. Akui kesalahan, bertanggung jawab atas tindakanmu, dan fokus pada mencari solusi bersama. Hindari menyalahkan orang lain, fokus pada system dan process yang perlu diperbaiki. Ingat, “The best way to accept responsibility is to gently and nonjudgmentally explore it.” Jadilah bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
8. Networking Transaksional: Kenalan Hanya Kalau Ada Maunya
Dulu, networking mungkin dianggap sebagai ajang untuk mencari keuntungan pribadi. Membangun koneksi hanya dilakukan jika ada benefit yang bisa didapatkan secara langsung.
Kenapa dulu penting? Dulu, dunia bisnis lebih transaksional dan kompetitif. Networking dianggap sebagai cara untuk mendapatkan deal, promosi, atau job offer. Fokusnya adalah “What can I get from this person?”
Kenapa sekarang menghambat? Era relationship marketing dan community building menuntut networking yang autentik dan value-based. Networking transaksional justru bisa merusak reputasi dan hubungan jangka panjang. Orang akan merasa dimanfaatkan dan enggan untuk membantu atau berkolaborasi denganmu. Networking yang efektif adalah tentang membangun hubungan yang tulus, saling mendukung, dan memberikan value kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan langsung.
Solusinya: Bangun networking yang value-based dan relationship-oriented. Fokus pada memberikan value kepada orang lain, membangun hubungan yang tulus, dan saling mendukung. Jadilah connector yang menghubungkan orang-orang dengan passion dan tujuan yang sama. Ingat, “The currency of real networking is not greed but generosity.” Semakin banyak kamu memberi, semakin banyak yang kamu terima dalam jangka panjang.