Sosial

5 Kebiasaan Ini Buktikan Kurangnya Tata Krama, Kamu Termasuk?

×

5 Kebiasaan Ini Buktikan Kurangnya Tata Krama, Kamu Termasuk?

Sebarkan artikel ini
5 Kebiasaan Ini Buktikan Kurangnya Tata Krama, Kamu Termasuk?
5 Kebiasaan Ini Buktikan Kurangnya Tata Krama, Kamu Termasuk? (www.freepik.com)

perisainews.com – Tata krama adalah fondasi penting dalam interaksi sosial. Lebih dari sekadar aturan formal, tata krama mencerminkan penghargaan terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Sayangnya, di era modern ini, tidak semua orang memiliki kesadaran yang sama tentang pentingnya bersikap sopan. Beberapa kebiasaan bahkan secara gamblang menunjukkan bahwa seseorang mungkin tidak pernah mendapatkan pendidikan tata krama yang memadai.

Mungkin Anda pernah bertemu dengan individu yang perilakunya membuat Anda bertanya-tanya, “Apakah orang ini tidak diajari sopan santun?”. Tanpa bermaksud menghakimi, artikel ini akan mengulas 5 kebiasaan umum yang seringkali menjadi indikator kurangnya pemahaman seseorang terhadap tata krama. Mari kita simak bersama, bukan untuk mengkritik, melainkan untuk introspeksi diri dan meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya bersikap santun.

1. Berbicara Terlalu Keras di Ruang Publik

Pernahkah Anda merasa terganggu dengan seseorang yang berbicara dengan volume suara tinggi di tempat umum seperti restoran, transportasi umum, atau bahkan perpustakaan? Kebiasaan ini seringkali dianggap sebagai bentuk kurangnya tata krama. Bayangkan, saat Anda sedang menikmati kopi di kafe yang tenang atau fokus membaca buku di perpustakaan, tiba-tiba percakapan keras seseorang memecah konsentrasi. Tentu sangat menjengkelkan, bukan?

Baca Juga  Baby Boomers: Generasi Tua yang Masih Berkuasa!

Berbicara dengan volume suara yang tidak sesuai dengan lingkungan sekitar menunjukkan kurangnya kesadaran akan kehadiran orang lain. Dalam situasi seperti ini, orang yang bertata krama akan memahami bahwa ruang publik adalah tempat berbagi, dan setiap orang memiliki hak untuk merasa nyaman dan tidak terganggu.

Menurut studi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kebisingan yang berlebihan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik. Lebih dari sekadar gangguan sesaat, suara keras di ruang publik dapat memicu stres, gangguan tidur, bahkan masalah pendengaran jangka panjang. Oleh karena itu, menjaga volume suara di tempat umum bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap kesehatan bersama.

2. Menggunakan Telepon Genggam Saat Berinteraksi Langsung

Di era digital ini, telepon genggam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Namun, keasyikan dengan gawai seringkali membuat kita lupa akan etika dalam berinteraksi langsung. Salah satu contoh paling sering ditemui adalah kebiasaan menggunakan telepon genggam saat sedang berbicara dengan orang lain.

Baca Juga  Sejarah Kelam Vandalisme, Dari Suku Vandal hingga Era Cybercrime

Entah itu saat makan bersama, rapat, atau sekadar bercengkerama, fokus yang terpecah antara dunia maya dan dunia nyata dapat mengirimkan pesan yang kurang sopan. Ketika seseorang lebih memilih untuk melihat layar ponselnya daripada menatap mata lawan bicara, ini dapat diartikan sebagai kurangnya penghargaan dan perhatian.

Psikolog Dr. Sherry Turkle, dalam bukunya “Alone Together”, menjelaskan fenomena ini sebagai “alone together”—kita terhubung secara digital namun terisolasi secara emosional. Ketergantungan pada teknologi dapat mengikis kemampuan kita untuk membangun koneksi yang tulus dan hadir sepenuhnya dalam interaksi tatap muka. Menggunakan telepon genggam secara berlebihan saat berinteraksi langsung bukan hanya soal tata krama, tetapi juga tentang menjaga kualitas hubungan interpersonal kita.

Baca Juga  17 Cara Bikin Orang Betah di Sekitarmu

3. Tidak Mengucapkan “Tolong”, “Terima Kasih”, dan “Maaf”

Tiga kata ajaib: “tolong”, “terima kasih”, dan “maaf”. Sederhana, namun memiliki kekuatan besar dalam membangun interaksi sosial yang harmonis. Sayangnya, masih banyak orang yang melupakan atau meremehkan kekuatan kata-kata ini.

Tidak mengucapkan “tolong” saat meminta bantuan, “terima kasih” setelah menerima bantuan, atau “maaf” ketika melakukan kesalahan, menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap orang lain. Kata-kata ini bukan hanya formalitas kosong, melainkan bentuk pengakuan atas bantuan, kebaikan, atau perasaan orang lain.

Menurut penelitian dari Universitas California, Berkeley, mengucapkan terima kasih secara aktif dapat meningkatkan rasa bahagia dan mengurangi stres. Lebih dari itu, budaya mengucapkan terima kasih juga memperkuat ikatan sosial dan menciptakan lingkungan yang lebih positif. Mengajarkan dan membiasakan diri untuk mengucapkan “tolong”, “terima kasih”, dan “maaf” sejak dini adalah investasi penting dalam membentuk karakter dan membangun masyarakat yang lebih beradab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *