perisainews.com – Memiliki anak adalah anugerah terindah dalam hidup. Setiap orang tua tentu menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Namun, dalam proses membesarkan anak, terkadang orang tua tanpa sadar melakukan kesalahan yang tampaknya sepele, padahal dampaknya bisa sangat besar bagi perkembangan anak. Salah satu kesalahan tersebut adalah orang tua membandingkan anak mereka dengan saudaranya atau bahkan dengan anak lain.
Banyak orang tua mungkin merasa bahwa membandingkan anak adalah cara yang efektif untuk memotivasi mereka agar menjadi lebih baik. Mereka berpikir, dengan membandingkan, anak akan terpacu untuk mencontoh kelebihan saudaranya atau anak lain yang dianggap lebih unggul. Namun, kenyataannya, praktik membandingkan anak ini justru lebih banyak membawa dampak negatif daripada positif. Bahkan, psikolog anak seringkali menyebut kebiasaan ini sebagai “luka tak terlihat” yang bisa membekas dalam diri anak hingga dewasa.
Mengapa Orang Tua Sering Membandingkan Anak?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai dampak buruknya, penting untuk memahami mengapa orang tua seringkali jatuh ke dalam jebakan membandingkan anak. Ada beberapa faktor yang mungkin melatarbelakanginya:
-
Tekanan Sosial dan Ekspektasi: Dalam masyarakat, seringkali ada standar tertentu mengenai “anak ideal” yang sukses dalam berbagai bidang. Orang tua mungkin merasa tertekan untuk memastikan anak mereka memenuhi standar tersebut, dan tanpa sadar mulai membandingkannya dengan anak lain yang dianggap lebih berhasil.
-
Kurangnya Pemahaman tentang Keunikan Anak: Setiap anak terlahir unik dengan bakat, minat, dan kecepatan perkembangan yang berbeda-beda. Orang tua yang kurang memahami hal ini cenderung melihat anak-anak secara general dan membandingkannya berdasarkan standar yang sama, tanpa mempertimbangkan perbedaan individual mereka.
-
Niat Memotivasi yang Salah Kaprah: Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa orang tua mungkin memiliki niat baik untuk memotivasi anak melalui perbandingan. Mereka berpikir bahwa dengan menunjukkan contoh anak lain yang “lebih baik,” anak mereka akan termotivasi untuk berusaha lebih keras. Namun, cara ini justru seringkali kontraproduktif.
-
Pola Asuh Turun Temurun: Kebiasaan membandingkan anak bisa jadi merupakan pola asuh yang diturunkan dari generasi ke generasi. Orang tua mungkin pernah mengalami hal serupa saat kecil, dan tanpa sadar mengulanginya pada anak mereka sendiri.
-
Stres dan Kelelahan: Orang tua yang sedang mengalami stres atau kelelahan cenderung lebih mudah terpancing untuk melakukan tindakan impulsif, termasuk membandingkan anak. Dalam kondisi tertekan, mereka mungkin kehilangan kesabaran dan tanpa sadar melontarkan kalimat perbandingan yang menyakitkan hati anak.
Dampak Negatif Membandingkan Anak: Lebih dari Sekadar Cemburu
Membandingkan anak bukan hanya sekadar menciptakan rasa cemburu antar saudara. Dampak negatifnya jauh lebih dalam dan bisa memengaruhi berbagai aspek perkembangan anak, baik secara emosional, psikologis, maupun sosial. Berikut adalah beberapa dampak buruk yang perlu diwaspadai:
-
Menurunkan Kepercayaan Diri dan Harga Diri Anak: Ketika anak terus-menerus dibandingkan dan selalu merasa “kurang” dibandingkan saudaranya atau anak lain, kepercayaan diri mereka akan terkikis. Mereka mulai meragukan kemampuan diri sendiri, merasa tidak berharga, dan kehilangan keyakinan untuk meraih impian mereka. Sebuah studi oleh American Psychological Association menunjukkan bahwa anak-anak yang sering dibandingkan cenderung memiliki tingkat self-esteem yang lebih rendah.
-
Memicu Persaingan Tidak Sehat Antar Saudara: Perbandingan yang terus-menerus dapat menciptakan lingkungan persaingan yang tidak sehat di antara saudara. Mereka akan merasa perlu untuk selalu lebih unggul dari saudaranya agar mendapatkan pujian dan kasih sayang orang tua. Hal ini bisa merusak hubungan persaudaraan yang seharusnya harmonis dan penuh dukungan. Mereka akan tumbuh besar dengan perasaan iri, dengki, dan sulit membangun hubungan yang sehat dengan orang lain di kemudian hari.
-
Menghambat Pengembangan Potensi Diri: Setiap anak memiliki potensi unik yang perlu dikembangkan. Namun, ketika anak terus dibandingkan dengan orang lain yang dianggap lebih baik dalam bidang tertentu, mereka mungkin merasa minder dan enggan untuk mengeksplorasi potensi diri mereka sendiri. Mereka merasa percuma berusaha karena toh tidak akan pernah bisa “seperti” anak yang dibandingkan dengannya. Padahal, bisa jadi potensi anak tersebut justru terletak di bidang lain yang belum tergali.
-
Menciptakan Stres dan Kecemasan: Anak yang sering dibandingkan hidup dalam tekanan untuk selalu memenuhi ekspektasi orang tua. Mereka takut melakukan kesalahan atau tidak bisa “seperti” anak yang dibandingkan dengannya. Kondisi ini dapat memicu stres dan kecemasan berlebihan pada anak, bahkan meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental seperti depresi dan anxiety disorder di kemudian hari. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa gangguan mental pada anak dan remaja terus meningkat, dan salah satu faktor pemicunya adalah tekanan dari lingkungan, termasuk keluarga.
-
Merusak Hubungan Anak dan Orang Tua: Membandingkan anak dapat merusak hubungan emosional antara anak dan orang tua. Anak merasa tidak dihargai, tidak dicintai apa adanya, dan hanya dinilai berdasarkan pencapaiannya. Mereka akan merasa jauh dari orang tua, sulit terbuka, dan kehilangan kepercayaan. Komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak akan semakin memperburuk kondisi ini.
‘Si Kakak Selalu Lebih…’ Kalimat yang Menghancurkan
Salah satu contoh kalimat perbandingan yang sering dilontarkan orang tua adalah, “Lihat kakakmu, rajin belajar, nilainya bagus-bagus. Kamu kok malas banget sih?” Kalimat seperti ini, meskipun mungkin diucapkan dengan maksud memotivasi, justru sangat merusak.