5. Pola Asuh Membandingkan Anak: “Lihat Kakakmu, Dia Lebih Hebat”
Setiap anak unik dan memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing. Namun, pola asuh yang membanding-bandingkan anak dengan saudaranya atau anak lain justru dapat merusak harga diri dan menciptakan persaingan tidak sehat antar saudara. Orang tua dengan pola asuh ini seringkali menggunakan perbandingan sebagai alat motivasi, tanpa menyadari dampak negatifnya pada psikologis anak.
Ciri-ciri pola asuh membandingkan anak:
- Sering membandingkan: Terus-menerus membandingkan anak dengan saudaranya atau anak lain, baik dalam hal prestasi, kemampuan, maupun karakter.
- Meremehkan keunikan: Gagal menghargai keunikan dan potensi masing-masing anak, fokus pada kelebihan anak lain yang dianggap lebih baik.
- Menciptakan persaingan: Secara tidak langsung menciptakan persaingan antar saudara, membuat anak merasa harus bersaing untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua.
- Kurang apresiasi individual: Jarang memberikan pujian dan apresiasi atas pencapaian atau kelebihan anak secara individual, selalu dikaitkan dengan perbandingan dengan anak lain.
Dampak trauma jangka panjang:
Pola asuh membandingkan anak dapat merusak harga diri anak, membuat mereka merasa tidak berharga, tidak dicintai, dan tidak pernah cukup baik. Mereka tumbuh dengan perasaan iri hati, dengki, dan persaingan tidak sehat dengan saudara atau orang lain di sekitar mereka. Penelitian dari Brigham Young University menemukan bahwa anak-anak yang sering dibandingkan dengan saudaranya lebih mungkin mengalami depresi, kecemasan, dan masalah perilaku di masa remaja dan dewasa. Hubungan antar saudara juga dapat menjadi renggang dan penuh konflik akibat pola asuh yang tidak sehat ini.
Menuju Pola Asuh yang Lebih Sehat dan Empati
Menyadari adanya pola asuh yang kurang sehat adalah langkah awal untuk melakukan perubahan positif. Pola asuh yang ideal adalah pola asuh yang hangat, responsif, dan suportif. Orang tua perlu belajar untuk berempati dengan emosi anak, memberikan dukungan emosional yang memadai, dan menghargai keunikan masing-masing anak. Komunikasi yang terbuka dan jujur, aturan yang jelas namun fleksibel, serta pemberian pujian dan apresiasi yang tulus adalah kunci dalam menciptakan lingkungan pengasuhan yang sehat dan bebas trauma.