perisainews.com – Pola asuh memiliki peran krusial dalam membentuk karakter dan mental anak. Seringkali, orang tua menerapkan metode pengasuhan yang mereka anggap wajar, bahkan meniru cara orang tua mereka dulu. Namun, tahukah Anda bahwa beberapa pola asuh yang terlihat normal dan umum diterapkan, justru dapat meninggalkan luka mendalam atau trauma pada anak hingga dewasa?
Trauma akibat pola asuh tidak selalu tampak dari kekerasan fisik atau verbal yang eksplisit. Justru, banyak pola asuh yang terkesan biasa saja, bahkan ‘baik’ di mata masyarakat, namun tanpa disadari memberikan dampak negatif jangka panjang bagi kesehatan mental anak. Artikel ini akan mengupas 5 pola asuh yang seringkali dianggap normal, namun berpotensi menyebabkan trauma mendalam pada anak, sehingga penting untuk disadari dan dihindari.
1. Pola Asuh Perfeksionis: Standar Tinggi Tanpa Ruang Kesalahan
Dalam masyarakat yang kompetitif, mendorong anak untuk meraih prestasi seringkali dianggap sebagai bentuk kasih sayang dan dukungan. Orang tua dengan pola asuh perfeksionis biasanya menetapkan standar yang sangat tinggi untuk anak-anak mereka dalam segala hal, mulai dari akademis, olahraga, hingga penampilan. Mereka menuntut kesempurnaan dan performa terbaik tanpa memberikan ruang untuk kesalahan atau kegagalan.
Ciri-ciri pola asuh perfeksionis:
- Fokus pada hasil: Lebih menekankan pada pencapaian akhir dibandingkan proses belajar dan usaha anak.
- Kritik berlebihan: Cenderung fokus pada kesalahan dan kekurangan anak, jarang memberikan pujian atas usaha atau kemajuan.
- Standar tidak realistis: Mengharapkan anak selalu sempurna dan melampaui ekspektasi, bahkan dalam hal-hal yang di luar kendali anak.
- Kurang empati: Sulit memahami dan menerima emosi negatif anak seperti kecewa, sedih, atau marah akibat kegagalan.
Dampak trauma jangka panjang:
Pola asuh perfeksionis dapat menyebabkan anak tumbuh dengan rasa kecemasan berlebihan dan ketakutan akan kegagalan. Mereka merasa tidak pernah cukup baik dan selalu dihantui perasaan bersalah jika tidak memenuhi ekspektasi orang tua. Penelitian dari American Psychological Association menunjukkan bahwa tekanan untuk selalu sempurna dapat meningkatkan risiko depresi, gangguan makan, dan masalah harga diri pada anak-anak hingga dewasa. Anak yang terus-menerus dikritik juga dapat kehilangan motivasi intrinsik untuk belajar dan berkembang, karena mereka merasa usaha mereka tidak pernah dihargai.
2. Pola Asuh Otoriter: Kontrol Penuh Tanpa Negosiasi
Pola asuh otoriter seringkali didasarkan pada keyakinan bahwa orang tua adalah sosok yang berkuasa dan anak harus patuh tanpa banyak bertanya. Orang tua otoriter menerapkan aturan yang ketat, hukuman yang keras, dan minim komunikasi dua arah. Mereka jarang menjelaskan alasan di balik aturan atau mendengarkan pendapat anak.
Ciri-ciri pola asuh otoriter:
- Aturan kaku: Menerapkan aturan yang sangat ketat dan tidak fleksibel, tanpa mempertimbangkan situasi atau sudut pandang anak.
- Hukuman keras: Menggunakan hukuman fisik atau verbal yang keras untuk mendisiplinkan anak.
- Komunikasi satu arah: Lebih banyak memerintah dan menginstruksikan, jarang memberikan kesempatan anak untuk berbicara atau berpendapat.
- Kurang kehangatan: Menunjukkan sedikit kasih sayang dan dukungan emosional, terkesan dingin dan menjaga jarak.
Dampak trauma jangka panjang:
Anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter cenderung tumbuh menjadi pribadi yang penurut dan patuh di luar, namun rentan memberontak secara diam-diam atau pasif agresif. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah karena terbiasa diatur dan diarahkan. Selain itu, pola asuh ini juga dapat merusak hubungan orang tua dan anak, menciptakan jarak emosional dan kurangnya rasa percaya. Studi dari University of California, Berkeley, menemukan bahwa anak-anak dari orang tua otoriter lebih mungkin mengalami kecemasan sosial, rendah diri, dan kesulitan membangun hubungan interpersonal yang sehat di kemudian hari.