ParentingPsikologi

Manja? 10 Perilaku Anak Ini Sebenarnya Wajar

×

Manja? 10 Perilaku Anak Ini Sebenarnya Wajar

Sebarkan artikel ini
Manja? 10 Perilaku Anak Ini Sebenarnya Wajar
Manja? 10 Perilaku Anak Ini Sebenarnya Wajar (www.freepik.com)

perisainews.com – Mungkin Anda pernah merasa jengkel saat melihat anak merengek minta sesuatu, atau tiba-tiba menangis histeris di tempat umum. “Manja sekali anak ini!” mungkin celetukan yang terlintas di benak. Namun, tahukah Anda bahwa tidak semua perilaku anak yang terlihat “manja” itu benar-benar merupakan tanda manja? Justru, banyak di antaranya merupakan fase perkembangan yang normal dan wajar dialami anak-anak. Memahami perbedaan antara perilaku manja dan perilaku normal ini penting agar kita sebagai orang tua atau orang dewasa di sekitar anak bisa merespons dengan tepat dan bijaksana.

Alih-alih langsung melabeli “manja,” mari kita telaah lebih dalam sepuluh perilaku anak yang seringkali disalahartikan sebagai manja, padahal sebenarnya wajar dalam tahapan tumbuh kembang mereka:

1. Merengek dan Meminta Perhatian Berlebihan

Anak yang terus-terusan merengek dan seolah “haus” perhatian seringkali dianggap manja. Padahal, di usia prasekolah hingga sekolah dasar, anak-anak memang sedang berada dalam fase attachment atau keterikatan yang kuat dengan orang tua atau pengasuh utama. Merengek adalah salah satu cara mereka memastikan bahwa orang yang mereka cintai ada, peduli, dan siap memenuhi kebutuhan mereka. Ini adalah bentuk komunikasi mereka, terutama saat mereka belum mampu mengungkapkan perasaan atau kebutuhan mereka dengan kata-kata yang jelas.

Baca Juga  Hati-Hati! Kesalahan Ini Bisa Merusak Hubungan di Masa Pensiun

Mengapa ini wajar? Kebutuhan akan rasa aman dan terhubung adalah kebutuhan dasar manusia, terutama bagi anak-anak. Merengek bisa jadi merupakan cara anak mengatasi kecemasan perpisahan, mencari validasi emosional, atau sekadar memastikan bahwa mereka penting dan dicintai. Menurut psikolog perkembangan anak, fase ini justru penting untuk membangun rasa percaya diri dan kemandirian anak di masa depan. Anak yang merasa aman dan dicintai akan lebih berani bereksplorasi dan belajar hal-hal baru.

Bagaimana meresponsnya? Alih-alih langsung memarahi atau mengabaikan rengekan anak, cobalah dekati dengan empati. Berikan perhatian yang cukup saat anak merengek, dengarkan apa yang ingin mereka sampaikan (meskipun mungkin tidak selalu jelas), dan validasi perasaan mereka. Misalnya, Anda bisa berkata, “Ibu/Ayah tahu kamu sedang ingin diperhatikan ya? Sini cerita sama Ibu/Ayah.” Setelah itu, secara bertahap ajarkan anak cara mengungkapkan kebutuhan mereka dengan lebih jelas dan mandiri.

Baca Juga  Kesalahan Fatal dalam Mendidik Anak Usia Dini

2. Menangis Karena Hal Sepele

Siapa yang tidak gemas melihat anak menangis hanya karena mainannya jatuh, es krimnya tumpah, atau tidak diperbolehkan melakukan sesuatu? Reaksi emosional yang tampak berlebihan ini seringkali membuat kita mengira anak sedang “drama” atau mencari perhatian. Namun, bagi anak-anak, terutama usia balita dan prasekolah, dunia emosi mereka masih sangat intens dan belum terkelola dengan baik.

Mengapa ini wajar? Otak anak-anak, khususnya bagian prefrontal cortex yang bertanggung jawab atas kontrol emosi dan logika, belum berkembang sempurna. Mereka masih belajar mengenali, memahami, dan mengelola emosi mereka. Oleh karena itu, wajar jika mereka mudah sekali merasa frustrasi, sedih, marah, atau kecewa, bahkan untuk hal-hal yang bagi orang dewasa terlihat kecil dan tidak berarti. Menangis adalah salah satu cara alami anak melepaskan emosi yang memuncak.

Baca Juga  10 Ciri-Ciri Wanita NPD, Bisa Merusak Hubungan

Bagaimana meresponsnya? Jangan meremehkan atau menertawakan tangisan anak, meskipun bagi Anda alasannya tampak sepele. Dampingi anak saat mereka menangis, biarkan mereka merasakan dan mengekspresikan emosi mereka. Anda bisa memeluk mereka, mengatakan “Ibu/Ayah tahu kamu sedih karena mainanmu jatuh,” dan bantu mereka menenangkan diri. Setelah anak lebih tenang, ajak mereka berdiskusi tentang apa yang terjadi dan bagaimana mereka bisa mengatasi perasaan mereka. Secara bertahap, ajarkan anak strategi coping yang sehat untuk menghadapi emosi yang sulit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *