6. Kurang Gigih dan Mudah Menyerah
Kegigihan dan ketekunan adalah kunci untuk mencapai tujuan dan mengatasi rintangan dalam hidup. Sayangnya, orang yang dibesarkan dengan terlalu dimanja seringkali kurang gigih dan mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan atau tantangan. Mereka terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, sehingga tidak terlatih untuk berjuang, bertahan, atau bangkit kembali setelah kegagalan.
Ketika menghadapi tugas yang sulit atau proyek yang menantang, mereka mungkin cepat merasa frustrasi, kehilangan motivasi, dan memilih untuk menyerah daripada berusaha mencari solusi atau mengatasi rintangan. Mereka mungkin mencari jalan pintas atau berharap orang lain akan menyelesaikan masalah mereka. Kegagalan dianggap sebagai bukti ketidakmampuan diri, bukan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang.
Kurangnya kegigihan ini juga bisa termanifestasi dalam ketidakmampuan mereka untuk berkomitmen jangka panjang. Mereka mungkin mudah bosan dengan pekerjaan, hubungan, atau hobi, dan beralih dari satu hal ke hal lain tanpa benar-benar mendalami atau menguasai apa pun. Mereka mencari gratifikasi instan dan menghindari segala bentuk ketidaknyamanan atau kesulitan, sehingga potensi diri mereka tidak pernah berkembang secara maksimal.
7. Materialistis dan Fokus pada Kepemilikan Materi
Nilai-nilai materialistis, seperti obsesi pada harta benda dan status sosial, seringkali menjadi ciri khas orang yang dibesarkan dengan terlalu dimanja. Mereka cenderung mengukur kebahagiaan dan harga diri mereka dari apa yang mereka miliki, bukan dari siapa mereka sebagai pribadi atau kualitas hubungan mereka dengan orang lain. Kepemilikan materi dianggap sebagai simbol kesuksesan, kebahagiaan, dan validasi diri.
Sejak kecil, hadiah materi seringkali digunakan sebagai pengganti kasih sayang atau perhatian. Orang tua mungkin memberikan mainan mahal, gadget terbaru, atau liburan mewah untuk meredakan rasa bersalah karena kurangnya waktu atau perhatian yang berkualitas. Akibatnya, anak belajar bahwa cinta dan kebahagiaan bisa dibeli dengan uang, dan bahwa nilai diri mereka ditentukan oleh apa yang mereka miliki.
Dalam kehidupan dewasa, materialisme ini bisa termanifestasi dalam gaya hidup konsumtif, obsesi pada merek mewah, dan perbandingan konstan dengan orang lain dalam hal kepemilikan materi. Mereka mungkin bekerja keras hanya untuk mendapatkan uang dan mengabaikan aspek-aspek kehidupan lain yang lebih penting, seperti kesehatan, hubungan, atau pengembangan diri. Kebahagiaan mereka bersifat sementara dan rapuh, karena selalu bergantung pada faktor eksternal yang tidak kekal.
8. Merasa Berhak dan Kurang Bersyukur
Rasa syukur adalah kunci untuk kebahagiaan dan kepuasan hidup. Namun, orang yang dibesarkan dengan terlalu dimanja seringkali kurang bersyukur atas apa yang mereka miliki dan merasa berhak mendapatkan lebih. Mereka cenderung fokus pada apa yang belum mereka miliki dan mengabaikan berkat-berkat yang sudah ada dalam hidup mereka.
Ketika terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, mereka menganggap semua itu sebagai hak dan bukan sebagai anugerah. Mereka tidak menghargai usaha orang lain atau mengakui keberuntungan yang mereka miliki. Segala sesuatu dianggap sudah seharusnya terjadi, dan kurang ada apresiasi terhadap kebaikan atau kemurahan hati orang lain.
Kurangnya rasa syukur ini bisa membuat mereka tidak pernah merasa puas dan selalu mencari lebih. Mereka mungkin terus-menerus mengeluh tentang apa yang kurang dalam hidup mereka, membandingkan diri dengan orang lain, dan merasa iri dengan apa yang orang lain miliki. Kebahagiaan sejati, yang bersumber dari kepuasan batin dan apresiasi terhadap hidup, sulit mereka raih karena hati mereka tertutup oleh rasa berhak dan ketidakpuasan.