Generasi Z, atau yang sering disebut Gen Z, kini menjadi sorotan utama. Lahir dalam era digital dan informasi tanpa batas, mereka tumbuh dengan cara pandang yang unik terhadap dunia. Perlu kita sadari bahwa nilai hidup lama kini mulai ditantang oleh Gen Z, sebuah fenomena menarik yang mencerminkan perubahan zaman dan pergeseran prioritas dalam kehidupan.
Sebagai generasi yang melek teknologi dan terpapar berbagai isu global sejak dini, Gen Z memiliki keberanian untuk mempertanyakan nilai-nilai yang dianggap mapan oleh generasi sebelumnya. Mereka tidak ragu untuk mendefinisikan ulang arti kesuksesan, kebahagiaan, dan bahkan tujuan hidup. Pergeseran ini bukan berarti Gen Z anti terhadap nilai-nilai luhur, tetapi lebih kepada keinginan untuk mengadaptasi dan merelevansikan nilai-nilai tersebut dengan konteks zaman yang terus berubah.
Lantas, nilai hidup lama apa saja yang kini mulai dipertanyakan oleh Gen Z? Mari kita telaah satu per satu:
1. Stabilitas Karier vs. Fleksibilitas dan Passion
Dulu, memiliki pekerjaan tetap di satu perusahaan hingga pensiun dianggap sebagai puncak kesuksesan karier dan simbol stabilitas hidup. Generasi Baby Boomers dan Millennials awal mungkin masih banyak yang berpegang pada prinsip ini. Namun, bagi Gen Z, pandangan ini mulai terasa usang.
Gen Z lebih menghargai fleksibilitas dan passion dalam berkarier. Mereka tidak takut untuk berpindah-pindah pekerjaan demi mencari pengalaman baru, mengembangkan keterampilan yang beragam, atau mengejar bidang yang benar-benar mereka cintai. Survei dari Deloitte Global Gen Z and Millennial Survey 2023 menunjukkan bahwa fleksibilitas kerja dan kesempatan untuk belajar serta berkembang adalah faktor penting bagi Gen Z dalam memilih pekerjaan.
Bagi Gen Z, bekerja bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga tentang aktualisasi diri dan memberikan dampak positif. Mereka mencari pekerjaan yang memberikan makna dan selaras dengan nilai-nilai pribadi. Fenomena quiet quitting atau bekerja seperlunya sebagai bentuk protes terhadap pekerjaan yang tidak memuaskan juga menjadi salah satu indikasi pergeseran nilai ini.
2. Kepemilikan Materi vs. Pengalaman dan Keberlanjutan
Generasi sebelumnya mungkin cenderung mengukur kesuksesan dari seberapa banyak harta yang dimiliki, seperti rumah mewah, mobil keluaran terbaru, atau barang-barang branded. Kepemilikan materi menjadi simbol status dan pencapaian.
Namun, bagi Gen Z, pengalaman dan keberlanjutan (sustainability) jauh lebih berharga daripada sekadar menumpuk harta benda. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan uang untuk traveling, konser musik, festival seni, atau kegiatan lain yang memberikan pengalaman berkesan dan memperkaya jiwa. Data dari Harris Poll menunjukkan bahwa 72% Gen Z lebih memilih pengalaman daripada barang materi.
Selain itu, isu keberlanjutan juga sangat penting bagi Gen Z. Mereka sadar akan dampak konsumsi berlebihan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, mereka cenderung memilih produk atau layanan yang ramah lingkungan, second-hand, atau upcycled. Gaya hidup minimalis dan zero waste juga semakin populer di kalangan Gen Z sebagai bentuk penolakan terhadap budaya konsumerisme yang berlebihan.
3. Hierarki dan Formalitas vs. Kesetaraan dan Kolaborasi
Dalam budaya organisasi tradisional, hierarki dan formalitas sangat dijunjung tinggi. Atasan dianggap sebagai sosok yang otoriter dan bawahan harus patuh tanpa banyak bertanya. Komunikasi cenderung bersifat satu arah dan formal.
Gen Z mendambakan kesetaraan dan kolaborasi dalam lingkungan kerja maupun sosial. Mereka menghargai pemimpin yang terbuka terhadap ide-ide baru, mau mendengarkan masukan dari semua anggota tim, dan menciptakan suasana kerja yang inklusif dan suportif. Komunikasi yang jujur, transparan, dan informal lebih disukai.
Gen Z juga aktif mencari komunitas atau kelompok yang memiliki minat dan nilai yang sama. Mereka senang berkolaborasi dalam proyek-proyek kreatif, gerakan sosial, atau kegiatan komunitas. Semangat gotong royong dan peer-to-peer learning sangat kuat di kalangan Gen Z.