4. Kurangnya Pengakuan dan Apresiasi: Merasa Tak Terlihat
Setiap orang membutuhkan pengakuan dan apresiasi atas kerja keras dan kontribusi yang telah mereka berikan. Pengakuan tidak harus selalu berupa bonus atau promosi jabatan, tetapi bisa juga berupa pujian verbal, feedback positif, atau sekadar ucapan terima kasih yang tulus. Ketika karyawan merasa bahwa usaha mereka tidak dihargai atau bahkan diabaikan, maka motivasi kerja akan menurun drastis dan keinginan untuk mencari tempat lain yang lebih menghargai akan semakin besar.
Bayangkan Anda telah bekerja keras menyelesaikan proyek penting dengan hasil yang memuaskan, namun atasan Anda bahkan tidak memberikan komentar atau apresiasi sama sekali. Perasaan tidak terlihat dan tidak dihargai ini bisa sangat menyakitkan dan membuat Anda merasa tidak termotivasi untuk terus memberikan yang terbaik. Studi menunjukkan bahwa pengakuan dan apresiasi adalah salah satu faktor penting dalam meningkatkan retensi karyawan.
5. Stagnasi Karir: Jalan Buntu yang Menjemukan
Setiap individu memiliki kebutuhan untuk terus berkembang dan maju dalam karir mereka. Ketika pekerjaan yang dijalani terasa stagnan, tidak ada ruang untuk belajar dan berkembang, atau tidak ada jenjang karir yang jelas, maka karyawan akan merasa terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan kehilangan motivasi. Stagnasi karir dapat memicu perasaan frustrasi, tidak bersemangat, dan akhirnya mendorong karyawan untuk mencari peluang karir yang lebih menjanjikan di tempat lain.
Mungkin Anda sudah bertahun-tahun bekerja di posisi yang sama tanpa ada peningkatan tanggung jawab atau kesempatan untuk mengembangkan skill baru. Anda merasa potensi Anda tidak dimanfaatkan secara maksimal dan karir Anda berjalan di tempat. Perasaan stagnasi ini bisa sangat memotivasi Anda untuk resign dan mencari pekerjaan yang menawarkan tantangan dan peluang pertumbuhan karir yang lebih baik. Survei menunjukkan bahwa peluang pengembangan karir adalah salah satu faktor utama yang dicari karyawan ketika mempertimbangkan pekerjaan baru.
6. Konflik Nilai Diri: Ketika Tujuan Perusahaan Tak Sejalan
Setiap orang memiliki nilai-nilai pribadi yang mereka pegang teguh, seperti integritas, kejujuran, keadilan, atau tanggung jawab sosial. Ketika nilai-nilai pribadi ini bertentangan dengan nilai-nilai perusahaan atau praktik bisnis yang diterapkan, maka akan muncul konflik internal yang kuat. Konflik nilai diri dapat membuat karyawan merasa tidak nyaman, tidak termotivasi, dan bahkan merasa bersalah telah bekerja untuk perusahaan yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka.
Mungkin Anda bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang industri yang merusak lingkungan atau memiliki praktik bisnis yang tidak etis. Anda merasa tidak nyaman dan tidak bisa sepenuhnya mendukung tujuan perusahaan karena bertentangan dengan nilai-nilai Anda. Konflik nilai diri ini bisa menjadi pendorong kuat untuk resign dan mencari pekerjaan di perusahaan yang lebih align dengan values Anda. Semakin banyak karyawan, terutama generasi muda, yang mencari pekerjaan yang tidak hanya memberikan gaji tetapi juga selaras dengan nilai-nilai pribadi mereka.
7. Kesehatan Mental yang Terabaikan: Beban Terlalu Berat Dipikul
Kesehatan mental menjadi semakin diakui sebagai aspek penting dalam kehidupan profesional. Tekanan pekerjaan yang berlebihan, lingkungan kerja toxic, burnout, dan faktor-faktor psikologis lainnya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental karyawan. Ketika kesehatan mental terabaikan dan perusahaan tidak memberikan dukungan yang memadai, maka resign seringkali menjadi pilihan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kondisi yang semakin memburuk.
Mungkin Anda merasa stres dan cemas setiap hari karena pekerjaan, mengalami kesulitan tidur, atau bahkan merasakan gejala depresi. Anda sudah mencoba berbicara dengan atasan atau HRD, namun tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Ketika kesehatan mental Anda benar-benar terancam, resign bisa menjadi langkah yang diperlukan untuk memprioritaskan kesejahteraan diri. Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di tempat kerja semakin meningkat, dan karyawan tidak lagi ragu untuk resign jika pekerjaan tersebut berdampak buruk pada well-being mereka.