perisainews.com – Depresi pria seringkali tersembunyi di balik tembok kebisuan yang kokoh. Di masyarakat, ada anggapan keliru bahwa pria harus selalu kuat dan tidak boleh terlihat lemah. Anggapan ini, sayangnya, justru menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak pria memilih untuk diam dan memendam perasaan depresi mereka, alih-alih mencari bantuan. Fenomena ini bukan hanya memprihatinkan, tetapi juga berbahaya, karena depresi yang tidak tertangani dapat membawa dampak buruk yang lebih serius bagi kesehatan mental dan fisik pria.
Mengapa pria lebih sulit mengungkapkan depresi dibandingkan wanita? Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan pria memilih untuk bungkam dan bagaimana kita bisa membantu mereka untuk berani berbicara? Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai isu sensitif ini, dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran dan mendorong perubahan positif dalam cara kita memandang kesehatan mental pria.
Akar Permasalahan: Mengapa Pria Memendam Depresi?
Ada berbagai faktor kompleks yang menyebabkan pria cenderung memendam depresi mereka. Beberapa di antaranya berakar pada konstruksi sosial dan ekspektasi gender yang telah lama tertanam dalam masyarakat.
Konstruksi Maskulinitas Toksik: Beban Ekspektasi yang Membungkam
Sejak usia dini, anak laki-laki seringkali diajarkan untuk menjadi “kuat,” “tegar,” dan “tidak cengeng.” Mereka dicecar dengan pesan bahwa menunjukkan emosi, terutama emosi yang dianggap “lemah” seperti kesedihan atau ketakutan, adalah hal yang tidak pantas bagi seorang pria. Konstruksi maskulinitas toksik ini memaksa pria untuk memendam emosi mereka, seolah-olah mengekspresikan perasaan adalah tanda kelemahan.
Akibatnya, ketika seorang pria mengalami depresi, ia mungkin merasa malu, takut dinilai lemah, atau bahkan merasa gagal sebagai seorang pria jika ia mengakui perasaannya dan mencari bantuan. Mereka khawatir akan stigma negatif dan pandangan merendahkan dari lingkungan sekitar jika mereka terlihat “tidak kuat” atau “bermasalah.” Padahal, justru sebaliknya, mengakui kerentanan dan mencari bantuan adalah tanda kekuatan yang sebenarnya.
Stigma Depresi dan Kesehatan Mental: Tabu yang Menghalangi Keterbukaan
Stigma seputar depresi dan kesehatan mental secara umum masih menjadi masalah besar di masyarakat. Banyak orang masih menganggap depresi sebagai “penyakit orang kaya,” “kurang iman,” atau bahkan sekadar “drama.” Stigma ini semakin kuat bagi pria, karena mereka diharapkan untuk selalu tampil prima dan mampu mengatasi segala masalah sendiri.
Pria yang mengalami depresi seringkali takut untuk terbuka karena khawatir akan stigma negatif ini. Mereka mungkin takut dikucilkan, dianggap aneh, atau bahkan kehilangan pekerjaan jika mereka mengakui masalah kesehatan mental mereka. Ketakutan ini membuat mereka semakin terisolasi dan enggan mencari bantuan, memperburuk kondisi depresi yang mereka alami. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa pria memang lebih jarang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental dibandingkan wanita, yang sebagian besar disebabkan oleh stigma ini.
Dampak dari Depresi yang Tidak Terungkap: Lebih dari Sekadar Kesedihan
Memendam depresi bukan hanya berarti menanggung beban emosional sendirian. Depresi yang tidak terungkap dan tidak tertangani dapat memiliki dampak yang merusak di berbagai aspek kehidupan seorang pria.
Kesehatan Fisik dan Mental yang Terancam: Lingkaran Setan yang Merugikan
Depresi bukan hanya masalah “pikiran,” tetapi juga memiliki dampak nyata pada kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara depresi dengan berbagai masalah kesehatan fisik pada pria, seperti penyakit jantung, diabetes, gangguan pencernaan, dan bahkan penurunan sistem kekebalan tubuh.
Selain itu, depresi yang tidak diobati dapat memperburuk masalah kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan, penyalahgunaan zat adiktif (alkohol dan narkoba), dan perilaku berisiko lainnya. Dalam kasus yang ekstrem, depresi yang tidak tertangani dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Statistik menunjukkan bahwa angka bunuh diri pada pria secara global lebih tinggi dibandingkan wanita, dan depresi merupakan salah satu faktor risiko utama.