3. Kritik Konstan: “Kamu Ini Tidak Ada Benarnya!”
Setiap orang tua pasti pernah mengkritik anak, entah itu untuk memperbaiki perilaku yang salah atau memotivasi mereka untuk menjadi lebih baik. Namun, ketika kritik menjadi konstan dan dominan dalam interaksi orang tua dan anak, dampaknya bisa sangat merusak. Kritik yang terus-menerus, terutama yang bersifat merendahkan atau membanding-bandingkan anak dengan orang lain, dapat menghancurkan harga diri anak dan membuat mereka merasa tidak berharga.
Anak yang sering dikritik cenderung tumbuh menjadi pribadi yang insecure, takut gagal, dan memiliki citra diri yang negatif. Mereka merasa tidak pernah cukup baik di mata orang tua, sehingga kehilangan motivasi untuk berusaha dan mengembangkan potensi diri. Penelitian dari Journal of Abnormal Child Psychology (2020) menunjukkan bahwa kritik yang berlebihan dari orang tua berkorelasi positif dengan masalah perilaku dan emosional pada anak, termasuk agresi, depresi, dan kecemasan.
Penting untuk diingat, kritik yang membangun berbeda dengan kritik yang destruktif. Kritik yang membangun fokus pada perilaku spesifik yang perlu diperbaiki, disampaikan dengan nada yang positif dan suportif, serta diiringi dengan pujian dan pengakuan atas usaha anak. Orang tua perlu belajar untuk memberikan feedback yang efektif, yang membantu anak belajar dan berkembang tanpa merusak harga diri mereka.
4. Kurang Empati: “Kamu Cengeng, Masalah Kecil Dibesar-besarkan!”
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam konteks pengasuhan anak, empati berarti orang tua mampu memahami perspektif anak, mengakui perasaan mereka, dan merespons kebutuhan emosional mereka dengan penuh perhatian. Sayangnya, tidak semua orang tua memiliki kemampuan empati yang baik. Beberapa orang tua cenderung meremehkan perasaan anak, menganggap masalah mereka tidak penting, atau bahkan mengejek emosi mereka. Pola asuh yang kurang empati ini dapat membuat anak merasa tidak dipahami, tidak dihargai, dan sendirian dalam menghadapi masalahnya.
Anak yang tumbuh tanpa empati dari orang tua cenderung kesulitan untuk mengembangkan kecerdasan emosional, yaitu kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain. Mereka juga berisiko mengalami masalah dalam hubungan sosial, karena kurang mampu memahami dan merespons emosi orang lain dengan tepat. Sebuah studi dari Emotion (2022) menemukan bahwa empati orang tua merupakan faktor penting dalam perkembangan regulasi emosi anak dan kemampuan mereka untuk menjalin hubungan yang sehat.
Orang tua perlu melatih kemampuan empati mereka, dengan cara belajar mendengarkan anak dengan sungguh-sungguh, mencoba memahami sudut pandang mereka, dan mengakui perasaan mereka tanpa menghakimi. Ketika anak merasa dipahami dan diterima apa adanya, mereka akan merasa lebih aman, percaya diri, dan termotivasi untuk berbagi pengalaman dan perasaannya dengan orang tua.
5. Perfeksionisme Tidak Sehat: “Kamu Harus Jadi Nomor Satu!”
Setiap orang tua tentu ingin anaknya sukses dan berprestasi dalam hidup. Namun, ketika harapan tersebut berubah menjadi tuntutan perfeksionisme yang tidak sehat, dampaknya justru merugikan anak. Orang tua yang perfeksionis cenderung menetapkan standar yang terlalu tinggi dan tidak realistis bagi anak, menuntut mereka untuk selalu sempurna dalam segala hal, dan menghukum mereka ketika melakukan kesalahan. Pola asuh perfeksionis ini dapat menciptakan tekanan yang luar biasa pada anak, membuat mereka merasa tidak pernah cukup baik, dan mengembangkan rasa takut yang berlebihan terhadap kegagalan.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan perfeksionis seringkali mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Mereka belajar untuk menilai diri mereka sendiri berdasarkan pencapaian eksternal, bukan nilai intrinsik mereka sebagai individu. Mereka juga berisiko mengembangkan fixed mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan dan bakat adalah bawaan lahir dan tidak dapat diubah, sehingga mereka cenderung menghindari tantangan dan menyerah ketika menghadapi kesulitan. Penelitian dari Personality and Individual Differences (2021) menunjukkan bahwa perfeksionisme yang tidak sehat dari orang tua berkorelasi positif dengan maladaptive perfectionism pada anak, yang ditandai dengan rasa takut gagal, keraguan diri, dan kecenderungan untuk menunda-nunda pekerjaan.
Pola asuh yang sehat adalah mendorong anak untuk berusaha semaksimal mungkin, namun tetap menerima mereka apa adanya, terlepas dari hasil yang dicapai. Orang tua perlu fokus pada proses belajar dan perkembangan anak, bukan hanya pada hasil akhir. Mereka perlu mengajarkan anak untuk menghargai usaha, ketekunan, dan kemajuan yang telah dicapai, serta melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh.