KarirPengembangan Diri

Gen Z Bukan Malas, Mereka Hanya Memprioritaskan Hal yang Berbeda

×

Gen Z Bukan Malas, Mereka Hanya Memprioritaskan Hal yang Berbeda

Sebarkan artikel ini
Gen Z Bukan Malas, Mereka Hanya Memprioritaskan Hal yang Berbeda
Gen Z Bukan Malas, Mereka Hanya Memprioritaskan Hal yang Berbeda (www.freepik.com)

data-sourcepos=”5:1-5:439″>perisainews.com – Generasi Z kerap kali dituduh sebagai generasi yang malas, padahal kenyataannya, mereka hanya memprioritaskan hal yang berbeda dalam hidup. Pandangan ini muncul dari perbedaan nilai dan ekspektasi antara generasi yang lebih tua dengan Gen Z terkait pekerjaan, kehidupan, dan makna kesuksesan. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengapa label “malas” tidak tepat untuk Gen Z dan apa sebenarnya yang menjadi fokus utama generasi ini.

Pergeseran Nilai: Dulu dan Kini

Untuk memahami Gen Z, kita perlu melihat konteks perubahan nilai yang terjadi di masyarakat. Generasi sebelumnya, seperti Baby Boomers dan Generasi X, tumbuh dalam era yang sangat berbeda. Pekerjaan stabil seumur hidup di perusahaan besar, loyalitas pada perusahaan, dan kenaikan jabatan bertahap adalah gambaran kesuksesan yang umum. Kerja keras, jam kerja panjang, dan pengorbanan kehidupan pribadi seringkali dianggap sebagai harga yang wajar untuk meraih kemapanan karir.

Namun, nilai-nilai ini mulai bergeser, terutama dengan munculnya Generasi Milenial dan semakin menguat pada Gen Z. Generasi yang lebih muda ini tumbuh di era digital, globalisasi, dan ketidakpastian ekonomi. Mereka menyaksikan resesi ekonomi, perubahan iklim, dan ketidakstabilan politik yang membuat pandangan mereka tentang masa depan menjadi lebih realistis dan terkadang pesimistis. Akibatnya, fokus mereka tidak lagi semata-mata pada pencapaian materi dan karir tradisional, melainkan pada hal-hal yang dianggap lebih mendasar dan bermakna bagi kualitas hidup mereka.

Memprioritaskan Kesehatan Mental dan Kesejahteraan

Salah satu perbedaan paling mencolok antara Gen Z dengan generasi sebelumnya adalah kesadaran dan prioritas yang tinggi terhadap kesehatan mental. Gen Z tumbuh dalam lingkungan yang lebih terbuka dalam membahas isu kesehatan mental. Mereka tidak lagi menganggap masalah psikologis sebagai sesuatu yang tabu atau memalukan. Justru, menjaga kesehatan mental dianggap sebagai bagian penting dari self-care dan fondasi untuk menjalani hidup yang produktif dan bahagia.

Baca Juga  WFH Berbasis AI: Masa Depan Pekerjaan atau Akhir Karier?

Tekanan untuk selalu online, media sosial yang menampilkan standar kesempurnaan yang tidak realistis, dan ketidakpastian masa depan, dapat memicu stres dan kecemasan pada Gen Z. Oleh karena itu, mereka cenderung lebih selektif dalam memilih pekerjaan dan gaya hidup yang tidak mengorbankan kesehatan mental mereka. Mereka mencari lingkungan kerja yang suportif, fleksibel, dan menghargai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Jika pekerjaan terlalu menekan atau mengganggu kesejahteraan mental, Gen Z tidak ragu untuk mencari alternatif lain, meskipun harus mengorbankan stabilitas atau gaji yang lebih tinggi.

Keseimbangan Kerja dan Kehidupan Pribadi adalah Kunci

Generasi Z sangat menghargai work-life balance atau keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka tidak ingin hidup hanya untuk bekerja, melainkan bekerja untuk hidup. Bagi mereka, pekerjaan adalah sarana untuk mencapai tujuan hidup yang lebih besar, bukan tujuan akhir itu sendiri. Waktu luang, hobi, hubungan sosial, dan pengalaman pribadi sama pentingnya dengan karir.

Baca Juga  Menggali Potensi Anak Tanpa Membuatnya Stres dan Minder

Konsep hustle culture yang populer di kalangan generasi sebelumnya, yang mengagungkan kerja keras tanpa henti dan mengabaikan kehidupan pribadi, kurang diminati oleh Gen Z. Mereka lebih memilih pekerjaan yang memberikan fleksibilitas waktu dan tempat, memungkinkan mereka untuk mengatur jadwal sendiri dan memiliki waktu yang cukup untuk kegiatan di luar pekerjaan. Opsi kerja remote, jam kerja fleksibel, dan cuti yang memadai menjadi pertimbangan penting bagi Gen Z dalam memilih pekerjaan. Mereka menyadari bahwa kelelahan (burnout) dan stres kronis dapat merusak kualitas hidup dan produktivitas jangka panjang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *