Karir

Fenomena Silent Quitting, Generasi Z Makin Malas?

×

Fenomena Silent Quitting, Generasi Z Makin Malas?

Sebarkan artikel ini
Fenomena Silent Quitting, Generasi Z Makin Malas?
Fenomena Silent Quitting, Generasi Z Makin Malas? (www.freepik.com)

perisainews.com – Loyalitas kerja telah mengalami transformasi signifikan, terutama di kalangan Generasi Z. Fenomena silent quitting, atau berhenti secara diam-diam, menjadi topik hangat yang menggambarkan pergeseran nilai dan ekspektasi generasi muda terhadap dunia kerja. Mengapa loyalitas kerja di kalangan Gen Z berubah, dan bagaimana perusahaan harus beradaptasi untuk menghadapi realitas baru ini? Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena silent quitting dari sudut pandang Generasi Z, dampaknya bagi perusahaan, serta langkah-langkah adaptasi yang perlu diambil.

Memahami Fenomena Silent Quitting: Bukan Sekadar Malas Bekerja

Silent quitting bukanlah fenomena tentang karyawan yang malas atau tidak produktif. Lebih dari itu, ini adalah respons terhadap ketidakseimbangan antara usaha dan penghargaan, ekspektasi yang tidak terpenuhi, atau kurangnya apresiasi di tempat kerja. Generasi Z, yang tumbuh di era digital dengan akses informasi tak terbatas dan kesadaran tinggi akan work-life balance, memiliki pandangan yang berbeda tentang loyalitas kerja dibandingkan generasi sebelumnya.

Bagi Gen Z, bekerja bukan lagi sekadar mencari nafkah, tetapi juga tentang aktualisasi diri, pengembangan potensi, dan memiliki dampak positif. Mereka mencari makna dalam pekerjaan, fleksibilitas, dan pengakuan atas kontribusi yang mereka berikan. Ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, silent quitting menjadi bentuk protes halus atau mekanisme pertahanan diri.

Mengapa Silent Quitting Marak di Generasi Z?

data-sourcepos=”15:1-15:101″>Ada beberapa faktor yang menyebabkan fenomena silent quitting semakin marak di kalangan Generasi Z:

1. Pergeseran Nilai dan Prioritas

Generasi Z sangat menghargai work-life balance, kesehatan mental, dan fleksibilitas. Mereka tidak lagi melihat pekerjaan sebagai identitas utama, tetapi sebagai salah satu aspek dari kehidupan yang lebih luas. Ketika pekerjaan mulai mengganggu keseimbangan ini, atau mengorbankan kesehatan mental, loyalitas mereka terhadap pekerjaan tersebut akan berkurang. Data dari studi Deloitte Global Gen Z and Millennial Survey 2023 menunjukkan bahwa isu work-life balance dan kesehatan mental menjadi perhatian utama bagi Gen Z dalam memilih pekerjaan.

Baca Juga  Ingin Jadi Promotor Andal? Kuasai 6 Skill Ini atau Tertinggal!

2. Ekspektasi yang Tidak Terpenuhi

Generasi Z tumbuh dengan ekspektasi tinggi terhadap tempat kerja yang inklusif, suportif, dan memberikan ruang untuk berkembang. Mereka mengharapkan umpan balik yang konstruktif, peluang pembelajaran, dan pengakuan atas kinerja mereka. Ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, misalnya merasa tidak didengar, tidak dihargai, atau terjebak dalam pekerjaan yang monoton tanpa peluang pengembangan, mereka cenderung melakukan silent quitting.

3. Kurangnya Komunikasi dan Apresiasi

Komunikasi yang buruk dan kurangnya apresiasi dari atasan atau perusahaan juga menjadi faktor pendorong silent quitting. Generasi Z ingin merasa didengar, dihargai, dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Ketika perusahaan gagal membangun komunikasi yang efektif dan memberikan apresiasi yang tulus, karyawan Gen Z merasa tidak terhubung dengan pekerjaan mereka, dan loyalitas pun menurun. Menurut survei dari Gallup, karyawan yang merasa diabaikan cenderung lebih aktif mencari pekerjaan baru.

Baca Juga  10 Tanda Lingkungan Kerja Toksik yang Sering Dianggap Normal, Waspada!

4. Budaya Kerja yang Toksik

Budaya kerja yang toksik, seperti burnout akibat beban kerja berlebihan, tekanan untuk selalu online, atau kurangnya dukungan dari rekan kerja dan atasan, dapat memicu silent quitting. Generasi Z sangat peka terhadap lingkungan kerja yang tidak sehat. Mereka lebih memilih untuk menarik diri secara emosional daripada terjebak dalam lingkungan kerja yang merugikan kesehatan fisik dan mental mereka. Statistik dari WHO menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang buruk dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental dan fisik pada karyawan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *