Karir

Toxic Positivity di Kantor, Kenapa Selalu ‘Semangat!’ Justru Berbahaya?

×

Toxic Positivity di Kantor, Kenapa Selalu ‘Semangat!’ Justru Berbahaya?

Sebarkan artikel ini
Toxic Positivity di Kantor, Kenapa Selalu ‘Semangat!’ Justru Berbahaya?
Toxic Positivity di Kantor, Kenapa Selalu ‘Semangat!’ Justru Berbahaya? (www.freepik.com)

perisainews.com – Di era modern yang serba cepat dan kompetitif ini, budaya kerja positif seringkali diagung-agungkan sebagai kunci utama menuju kesuksesan dan kebahagiaan di kantor. Namun, pernahkah Anda merasa terjebak dalam situasi di mana dorongan untuk selalu “positif” justru terasa membebani dan kontraproduktif? Inilah yang disebut dengan toxic positivity di kantor, sebuah fenomena yang semakin mengemuka dan patut untuk kita waspadai.

Toxic positivity atau kepositifan toksik dalam konteks kantor dapat diartikan sebagai tekanan berlebihan untuk selalu menampilkan emosi positif, menekan emosi negatif, dan menolak validasi terhadap perasaan tidak nyaman yang dialami karyawan. Fenomena ini muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari ungkapan-ungkapan klise seperti “Semangat terus!”, “Jangan menyerah!”, atau “Lihat sisi positifnya!”, hingga kebijakan perusahaan yang tidak mengakomodasi ruang bagi karyawan untuk mengungkapkan keluh kesah atau stres yang mereka rasakan.

Mungkin terdengar ironis, namun budaya kerja yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan semangat dan motivasi karyawan justru bisa berbalik menjadi bumerang ketika terjebak dalam toxic positivity. Alih-alih menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan suportif, toxic positivity justru dapat memicu berbagai dampak negatif, baik bagi kesehatan mental individu maupun produktivitas tim secara keseluruhan.

Dampak Negatif Toxic Positivity di Kantor

Salah satu dampak paling signifikan dari toxic positivity adalah peningkatan stres dan kecemasan di kalangan karyawan. Ketika karyawan merasa dipaksa untuk selalu tersenyum dan bersikap positif, sementara di sisi lain mereka tengah bergelut dengan tekanan pekerjaan yang tinggi, tenggat waktu yang ketat, atau masalah pribadi yang terbawa ke kantor, mereka akan merasa bahwa perasaan negatif mereka tidak valid atau bahkan salah. Akibatnya, mereka cenderung memendam emosi negatif tersebut, yang justru dapat memperburuk tingkat stres dan kecemasan mereka dalam jangka panjang.

Baca Juga  Ingin Sukses? Hindari 15 Kesalahan Karyawan Baru yang Sering Terjadi!

Selain itu, toxic positivity juga dapat menghambat proses pemulihan emosional karyawan. Setiap individu pasti pernah mengalami masa-masa sulit atau kegagalan dalam pekerjaan. Dalam situasi seperti ini, dukungan dan validasi dari rekan kerja dan atasan sangat dibutuhkan untuk membantu mereka bangkit kembali. Namun, dalam budaya toxic positivity, ruang untuk mengungkapkan kesedihan, kekecewaan, atau frustrasi menjadi sangat terbatas. Karyawan dituntut untuk segera “move on” dan melupakan masalah, tanpa diberikan kesempatan untuk memproses emosi mereka secara sehat. Akibatnya, luka emosional yang tidak terobati dapat menumpuk dan memicu masalah yang lebih serius di kemudian hari, seperti burnout atau depresi.

Dampak negatif lain dari toxic positivity adalah menurunnya tingkat kepercayaan dan koneksi antar karyawan. Ketika seseorang merasa tidak aman untuk mengungkapkan perasaan negatifnya di kantor, mereka cenderung menjadi lebih tertutup dan enggan untuk berbagi masalah dengan rekan kerja atau atasan. Hal ini dapat menghambat terbentuknya hubungan yang autentik dan suportif di antara anggota tim. Padahal, rasa saling percaya dan koneksi emosional yang kuat merupakan fondasi penting bagi terciptanya kerja sama tim yang efektif dan lingkungan kerja yang harmonis.

Baca Juga  Pensiun? Jangan Dulu! 7 Cara Menghasilkan Uang di Usia 50 ke Atas

Lebih jauh lagi, toxic positivity dapat mematikan inovasi dan kreativitas. Dalam lingkungan kerja yang sehat, ide-ide baru dan solusi kreatif seringkali muncul dari diskusi terbuka dan jujur, termasuk di dalamnya adalah pengakuan terhadap tantangan dan masalah yang dihadapi. Namun, dalam budaya toxic positivity, ruang untuk mengkritisi atau mempertanyakan status quo menjadi terbatas. Karyawan mungkin merasa takut untuk menyampaikan ide-ide yang “negatif” atau berbeda dari pandangan umum, karena khawatir dianggap tidak positif atau tidak suportif. Akibatnya, potensi inovasi dan kreativitas tim menjadi terhambat, dan perusahaan berisiko tertinggal dalam persaingan yang semakin ketat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *