-
Meningkatkan Stres dan Kecemasan: Ketika seseorang terus menerus menekan emosi negatifnya, hal ini dapat meningkatkan tingkat stres dan kecemasan. Emosi yang tidak diungkapkan akan terpendam dan menciptakan tekanan internal yang besar.
-
Menurunkan Rasa Percaya Diri: Toxic positivity dapat membuat seseorang merasa tidak berharga dan tidak percaya diri. Mereka merasa bahwa emosi negatif yang mereka rasakan adalah sesuatu yang salah atau memalukan, sehingga mereka merasa diri mereka tidak cukup baik atau tidak normal.
-
Memicu Depresi: Penelitian menunjukkan bahwa toxic positivity dapat meningkatkan risiko depresi. Ketika seseorang merasa tertekan untuk selalu bahagia dan tidak mampu mengungkapkan kesedihannya, hal ini dapat memicu perasaan putus asa dan kehilangan harapan yang merupakan ciri khas depresi.
-
Merusak Hubungan Sosial: Toxic positivity dapat merusak hubungan sosial seseorang. Orang lain mungkin merasa tidak nyaman atau tidak dipahami ketika berinteraksi dengan seseorang yang selalu memaksakan positivitas dan menihilkan emosi negatif.
-
Menghambat Pertumbuhan Pribadi: Emosi negatif, meskipun tidak menyenangkan, sebenarnya memiliki peran penting dalam pertumbuhan pribadi. Emosi negatif dapat memberikan informasi penting tentang diri kita dan lingkungan sekitar, serta memotivasi kita untuk melakukan perubahan yang positif. Toxic positivity menghambat proses ini dengan menekan dan menyangkal emosi negatif.
Cara Menghindari Toxic Positivity dan Menerapkan Positivitas yang Sehat
Menghindari toxic positivity bukan berarti kita harus menjadi orang yang pesimis atau negatif. Justru sebaliknya, kita perlu belajar menerapkan positivitas yang sehat dan realistis, yang mengakui dan menerima keberadaan emosi negatif sebagai bagian alami dari kehidupan manusia. Berikut adalah beberapa cara untuk menghindari toxic positivity:
-
Validasi Emosi Negatif: Langkah pertama untuk menghindari toxic positivity adalah dengan belajar memvalidasi emosi negatif diri sendiri dan orang lain. Akui bahwa semua emosi, baik positif maupun negatif, adalah valid dan memiliki peran penting. Jangan pernah meremehkan atau menyepelekan emosi yang dirasakan oleh diri sendiri atau orang lain.
-
Dengarkan dengan Empati: Ketika seseorang mengungkapkan emosi negatifnya kepada Anda, dengarkan dengan empati dan tanpa menghakimi. Berikan ruang bagi mereka untuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa merasa dihakimi atau ditekan untuk berpikir positif.
-
Tawarkan Dukungan yang Tulus: Tawarkan dukungan yang tulus dan konkret kepada orang yang sedang berjuang dengan emosinya. Dukungan tidak selalu berarti memberikan solusi atau nasihat, tetapi terkadang cukup dengan mendengarkan, menemani, atau memberikan pelukan hangat.
-
Hindari Kalimat Klise yang Meremehkan Emosi: Hindari menggunakan kalimat-kalimat klise yang seringkali justru meremehkan emosi seseorang, seperti “Semangat!”, “Pasti bisa!”, atau “Jangan sedih!”. Kalimat-kalimat ini mungkin terkesan positif, tetapi justru dapat membuat orang merasa tidak dipahami dan semakin tertekan.
-
Fokus pada Solusi Realistis, Bukan Positivitas Semu: Alih-alih memaksakan positivitas semu, fokuslah pada mencari solusi yang realistis dan konstruktif untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Akui bahwa proses pemulihan atau perubahan tidak selalu mudah dan membutuhkan waktu serta usaha yang nyata.
-
Batasi Konsumsi Konten Toxic Positivity di Media Sosial: Media sosial seringkali menjadi sarang toxic positivity. Batasi konsumsi konten-konten yang mempromosikan positivitas berlebihan dan tidak realistis. Pilih akun-akun yang lebih fokus pada kesehatan mental, self-care, dan penerimaan diri.
-
Belajar Mengelola Emosi dengan Sehat: Pelajari cara mengelola emosi dengan sehat, seperti melalui meditasi, yoga, journaling, atau terapi. Cari cara-cara yang efektif untuk mengenali, memahami, dan mengekspresikan emosi Anda dengan cara yang konstruktif.
Positivitas yang Sehat adalah Kunci Kebahagiaan Sejati
Toxic positivity adalah fenomena yang perlu kita waspadai. Meskipun terkesan positif, toxic positivity justru dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental dan hubungan sosial kita. Mari kita belajar menerapkan positivitas yang sehat dan realistis, yang mengakui dan menerima keberadaan emosi negatif sebagai bagian alami dari kehidupan manusia. Dengan memvalidasi emosi, mendengarkan dengan empati, dan menawarkan dukungan yang tulus, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan suportif bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Ingatlah, kebahagiaan sejati tidak berarti selalu tersenyum, tetapi mampu menerima dan mengelola semua emosi yang kita rasakan dengan bijaksana.