perisainews.com – Dalam era media sosial yang serba cepat ini, kita seringkali dijejali dengan berbagai konten yang mempromosikan gaya hidup positif. Ungkapan-ungkapan seperti “semangat!”, “pasti bisa!”, atau “jangan menyerah!” seolah menjadi mantra wajib dalam setiap unggahan. Namun, tahukah Anda bahwa di balik seruan positif yang terus menerus digaungkan, tersembunyi sebuah fenomena yang disebut toxic positivity?
Toxic positivity atau positivitas beracun adalah sebuah konsep yang menggambarkan tekanan untuk selalu berpikir positif secara berlebihan, bahkan dalam situasi yang sulit atau menyakitkan. Alih-alih memberikan dukungan yang tulus, toxic positivity justru menihilkan validitas emosi negatif seseorang dan memaksa mereka untuk terus tersenyum meskipun hati sedang terluka.
Fenomena ini semakin marak dijumpai dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari media sosial, lingkungan kerja, hingga interaksi personal. Tanpa disadari, kita mungkin pernah menjadi pelaku atau bahkan korban dari toxic positivity. Lantas, apa saja ciri-ciri toxic positivity yang perlu kita waspadai? Bagaimana dampaknya bagi kesehatan mental? Dan yang terpenting, bagaimana cara menghindarinya? Mari kita bahas lebih lanjut.
Mengenali Ciri-Ciri Toxic Positivity yang Mungkin Tanpa Sadar Kita Lakukan
Toxic positivity seringkalikali menyamar sebagai dukungan atau motivasi, sehingga sulit untuk dikenali pada awalnya. Namun, jika kita lebih peka, ada beberapa ciri-ciri yang dapat membantu kita mengidentifikasi apakah suatu perkataan atau tindakan termasuk dalam kategori toxic positivity. Berikut adalah beberapa di antaranya:
-
Menyembunyikan Emosi yang Sebenarnya Dirasakan: Salah satu ciri paling mencolok dari toxic positivity adalah kecenderungan untuk menyembunyikan emosi negatif yang sebenarnya sedang dirasakan. Orang yang terjebak dalam toxic positivity merasa bahwa mengungkapkan kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan adalah sesuatu yang tabu atau lemah. Mereka memaksakan diri untuk selalu terlihat bahagia dan optimis di depan orang lain, meskipun dalam hati mereka mungkin sedang bergejolak.
-
Merasa Bersalah Ketika Mengungkapkan Emosi Negatif: Ketika seseorang memberanikan diri untuk mengungkapkan emosi negatifnya kepada orang yang menganut toxic positivity, mereka justru seringkali mendapatkan respons yang tidak mengenakkan. Alih-alih mendapatkan dukungan dan empati, mereka justru merasa bersalah atau malu karena telah mengungkapkan perasaan yang dianggap “negatif”. Mereka mungkin mendengar kalimat seperti, “Kenapa sih kamu selalu negatif? Coba deh berpikir positif sedikit!” Kalimat-kalimat seperti ini justru membuat mereka merasa tidak nyaman dan semakin tertekan untuk menyembunyikan emosi mereka di kemudian hari.
-
Menghakimi Orang Lain yang Mengungkapkan Emosi Negatif: Tidak hanya merasa tidak nyaman dengan emosi negatif diri sendiri, orang yang terjebak dalam toxic positivity juga cenderung menghakimi orang lain yang berani mengungkapkan emosi negatif mereka. Mereka mungkin menganggap orang tersebut lemah, tidak bersyukur, atau kurang iman. Mereka mungkin melontarkan kalimat-kalimat seperti, “Ah, kamu kurang bersyukur aja. Coba lihat di luar sana, masih banyak orang yang lebih susah dari kamu!” Kalimat-kalimat ini jelas tidak membantu dan justru membuat orang yang sedang berjuang dengan emosinya merasa semakin terisolasi dan tidak dipahami.
-
Sulit Berdamai dengan Diri Sendiri: Toxic positivity juga dapat membuat seseorang sulit berdamai dengan diri sendiri. Mereka terus menerus menuntut diri untuk selalu sempurna, bahagia, dan positif setiap saat. Ketika mereka gagal mencapai standar yang tidak realistis ini, mereka merasa sangat kecewa dan menyalahkan diri sendiri. Mereka tidak mampu menerima bahwa menjadi manusia berarti juga merasakan emosi negatif dan mengalami masa-masa sulit. Mereka terjebak dalam siklus perfeksionisme yang melelahkan dan merusak kesehatan mental.
-
Sulit Mengelola Emosi: Karena terbiasa menekan dan menyembunyikan emosi negatif, orang yang terjebak dalam toxic positivity juga menjadi kesulitan dalam mengelola emosi mereka dengan sehat. Mereka tidak belajar cara mengenali, memahami, dan mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang konstruktif. Akibatnya, emosi negatif yang terus menerus dipendam dapat menumpuk dan meledak sewaktu-waktu dalam bentuk yang tidak sehat, seperti ledakan kemarahan, depresi, atau kecemasan.
-
Terkesan Menghindari atau Membiarkan Masalah: Alih-alih menghadapi masalah dengan kepala dingin dan mencari solusi yang tepat, orang yang terjebak dalam toxic positivity cenderung menghindari atau membiarkan masalah tersebut. Mereka percaya bahwa dengan berpikir positif saja, masalah akan hilang dengan sendirinya. Mereka enggan mengakui adanya masalah atau mencari bantuan karena takut dianggap negatif atau lemah. Sikap ini tentu saja tidak menyelesaikan masalah dan justru dapat memperburuk situasi dalam jangka panjang.
-
Sering Mengucapkan Kalimat yang Membandingkan Diri dengan Orang Lain: Dalam upaya untuk memotivasi diri sendiri atau orang lain, orang yang terjebak dalam toxic positivity seringkali menggunakan kalimat-kalimat yang membandingkan diri dengan orang lain. Mereka mungkin mengatakan, “Lihat tuh si A, dia lebih susah dari kamu tapi tetap semangat!” atau “Orang lain aja bisa, masa kamu nggak bisa?” Kalimat-kalimat ini, alih-alih memotivasi, justru dapat membuat orang merasa minder, tidak berharga, dan semakin tertekan. Setiap individu memiliki kondisi dan perjuangan yang berbeda, sehingga membandingkan diri dengan orang lain bukanlah cara yang efektif untuk memberikan dukungan.
-
Melontarkan Kalimat yang Menyalahkan Orang yang Tertimpa Masalah: Bentuk toxic positivity yang paling menyakitkan adalah ketika seseorang melontarkan kalimat yang menyalahkan orang yang sedang tertimpa masalah. Mereka mungkin mengatakan, “Mungkin ini salah kamu sendiri, makanya kamu kena masalah,” atau “Kamu sih kurang berdoa, makanya kayak gini.” Kalimat-kalimat seperti ini sangat tidak empatik dan justru membuat orang yang sedang berduka atau kesulitan merasa semakin terpuruk dan tidak berdaya. Mereka merasa disalahkan atas penderitaan yang mereka alami dan kehilangan harapan untuk mendapatkan dukungan atau bantuan.
Dampak Buruk Toxic Positivity bagi Kesehatan Mental
Meskipun terkesan positif, toxic positivity justru dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental seseorang. Memaksakan diri untuk selalu bahagia dan menyangkal emosi negatif dapat menyebabkan berbagai masalah psikologis, di antaranya: