Kesehatan Mental

Cara Keluar Terjebak dalam Toxic Relationship dengan Orang Tua

×

Cara Keluar Terjebak dalam Toxic Relationship dengan Orang Tua

Sebarkan artikel ini
Cara Keluar Terjebak dalam Toxic Relationship dengan Orang Tua
Cara Keluar Terjebak dalam Toxic Relationship dengan Orang Tua (www.freepik.com)

perisainews.com – Pernah merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca setiap kali berinteraksi dengan orang tua? Atau mungkin, kamu merasa tidak pernah cukup baik di mata mereka, sekecil apapun usahamu? Jika ya, bisa jadi kamu sedang terjebak dalam toxic relationship dengan orang tua. Istilah toxic relationship atau hubungan toksik memang seringkali dikaitkan dengan relasi percintaan, namun faktanya, hubungan toksik dengan orang tua juga merupakan masalah yang nyata dan dialami oleh banyak orang.

Hubungan toksik dengan orang tua bukanlah sekadar perbedaan pendapat atau sesekali pertengkaran. Lebih dari itu, hubungan ini ditandai dengan pola perilaku yang merusak, baik secara emosional maupun psikologis. Dalam hubungan yang tidak sehat ini, orang tua, yang seharusnya menjadi sumber dukungan dan kasih sayang, justru menjadi sumber stres, rasa sakit, dan bahkan trauma bagi anak.

Mengenali Ciri-Ciri Toxic Relationship dengan Orang Tua

Mungkin sulit untuk mengakui bahwa orang tua yang kita cintai justru menjadi bagian dari masalah. Namun, mengenali ciri-ciri toxic relationship adalah langkah pertama untuk keluar dari jeratan ini. Berikut beberapa tanda yang mungkin kamu alami:

Kritik Tak Berujung dan Merendahkan: Orang tua toksik seringkali mengkritik tanpa henti, bahkan untuk hal-hal kecil. Kritik ini bukan bersifat membangun, melainkan lebih sering merendahkan, mempermalukan, atau membuat kamu merasa tidak berharga. Misalnya, “Kamu memang tidak pernah bisa melakukan apapun dengan benar,” atau “Lihat teman-temanmu, sudah sukses semua, kamu masih begini saja.”

Manipulasi Emosional: Manipulasi adalah senjata andalan orang tua toksik. Mereka pandai memainkan emosi anak untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bentuk manipulasi bisa beragam, mulai dari guilt-tripping (membuat merasa bersalah), mengungkit-ungkit pengorbanan, hingga mengancam. Contohnya, “Setelah semua yang Mama/Papa lakukan untukmu, kamu tega melakukan ini?” atau “Kalau kamu tidak menurut, Mama/Papa tidak akan sayang lagi sama kamu.”

Baca Juga  6 Kalimat yang Tanpa Disadari Menunjukkan Anda Memiliki Intuisi yang Tajam

Tidak Ada Batasan yang Sehat: Orang tua toksik cenderung melanggar batasan pribadi anak. Mereka mungkin terlalu ikut campur dalam urusan pribadi, membaca pesan pribadi, atau bahkan mengatur setiap aspek kehidupan anak, meskipun anak sudah dewasa. Privasi seolah tidak ada dalam kamus mereka.

Kurang Empati dan Tidak Validatif: Orang tua toksik sulit berempati terhadap perasaan anak. Mereka cenderung meremehkan atau mengabaikan emosi anak. Ketika kamu bercerita tentang masalahmu, respons mereka mungkin justru menyalahkanmu atau mengatakan bahwa kamu terlaluDrama. Tidak ada validasi perasaan, yang ada justru perasaanmu diremehkan.

Kontrol Berlebihan: Orang tua toksik memiliki kebutuhan untuk mengontrol setiap aspek kehidupan anak. Mereka ingin tahu segala hal tentangmu, mengatur pilihanmu, dan tidak memberikan ruang untuk kemandirian. Kamu merasa seperti hidup di bawah kendali mereka sepenuhnya.

Baca Juga  Sisi Baik Orang Kesepian, Mengapa Waktu Sendiri Justru Bisa Jadi Kekuatanmu

Perilaku Gaslighting: Gaslighting adalah bentuk manipulasi psikologis yang membuat korban meragukan kewarasan dirinya sendiri. Orang tua toksik mungkin menyangkal perkataan atau tindakan mereka sendiri, memutarbalikkan fakta, atau membuat kamu merasa gila karena mempertanyakan perilaku mereka. Misalnya, ketika kamu mengonfrontasi mereka tentang perkataan kasar, mereka mungkin akan berkata, “Mama/Papa tidak pernah bilang begitu,” atau “Kamu terlalu sensitif, Mama/Papa hanya bercanda.”

Sikap Playing Victim: Ketika dikonfrontasi atau dimintai pertanggungjawaban atas perilaku toksik mereka, orang tua toksik seringkali memainkan peran sebagai korban. Mereka akan membuat alasan, menyalahkan keadaan, atau justru membalikkan kesalahan padamu. Tujuannya adalah untuk menghindari tanggung jawab dan tetap merasa benar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *