JAKARTA – Stabilitas Sektor Jasa Keuangan (SJK) Indonesia dinilai tetap solid di tengah gejolak perekonomian global dan domestik yang penuh tantangan. Penilaian ini merupakan kesimpulan utama dari Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diselenggarakan pada 26 Februari 2025 lalu.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menyampaikan langsung hasil RDKB tersebut dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta pada Selasa (4/3/2025). Dalam pernyataannya, Mahendra menekankan bahwa di tengah kondisi global yang kompleks, SJK Indonesia mampu menunjukkan resiliensi yang kuat.
“Dari hasil RDKB bulan Februari, kami melihat bahwa stabilitas Sektor Jasa Keuangan tetap terjaga. Ini adalah kabar baik, mengingat kita menghadapi berbagai tantangan ekonomi baik dari sisi global maupun domestik,” ujar Mahendra Siregar.
Lebih lanjut, Mahendra menjelaskan bahwa kondisi perekonomian global saat ini diwarnai oleh pertumbuhan yang cenderung stagnan. Inflasi di beberapa negara maju mulai menunjukkan tren penurunan, namun volatilitas pasar keuangan tetap tinggi. Ketidakpastian kebijakan ekonomi dan tensi geopolitik yang terus berkembang menjadi faktor utama yang memicu volatilitas ini.
Dinamika Ekonomi Global: Antara Ketahanan AS dan Perlambatan Tiongkok
Mahendra memaparkan secara rinci dinamika perekonomian di beberapa negara utama yang memberikan pengaruh signifikan terhadap kondisi global. Di Amerika Serikat (AS), pertumbuhan ekonomi terbilang solid, didorong oleh kuatnya konsumsi domestik. Meskipun demikian, inflasi di AS masih menjadi perhatian.
“Inflasi di AS memang menunjukkan penurunan, namun tetap perlu diwaspadai. Pada Januari 2025, inflasi berada di level 3 persen year-on-year (yoy), dan core CPI bahkan naik menjadi 3,3 persen yoy. Ini menandakan bahwa tekanan harga di luar sektor energi dan pangan masih cukup tinggi,” jelas Mahendra.
Pasar tenaga kerja AS juga masih menunjukkan kekuatan dengan tingkat pengangguran yang turun menjadi 4 persen. Meskipun demikian, Mahendra mencatat adanya perlambatan dalam penambahan tenaga kerja baru (Nonfarm Payroll). Kebijakan moneter AS diperkirakan akan cenderung netral, dengan bank sentral AS, The Fed, diperkirakan hanya akan memangkas suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FFR) sebanyak 1 hingga 2 kali sepanjang tahun 2025.
Dari sisi geopolitik, Mahendra menyoroti belum adanya titik terang dalam penyelesaian konflik antara Ukraina dan Rusia. Pertemuan antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden AS Donald Trump belum lama ini di Gedung Putih juga belum menghasilkan kesepakatan yang signifikan. Selain itu, rencana AS untuk menerapkan tarif baru terhadap negara-negara mitra dagangnya semakin menambah ketidakpastian dalam perdagangan global.
Kondisi yang berbeda terjadi di Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi negara tersebut cenderung tertahan. Indikator inflasi (CPI) Tiongkok masih rendah, yaitu 0,5 persen yoy, dan indeks harga produsen (PPI) terus mengalami kontraksi.
“PMI Manufaktur Tiongkok memang masih berada di zona ekspansi, namun mengalami penurunan menjadi 50,1, di bawah ekspektasi pasar. Bank sentral Tiongkok juga memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan, yang menunjukkan pendekatan yang hati-hati dalam pelonggaran moneter,” papar Mahendra. Lebih lanjut, Mahendra juga menyoroti kebijakan Tiongkok yang memperketat regulasi ekspor rare earth, yang berpotensi berdampak pada industri teknologi global.
Ekonomi Domestik Stabil, Permintaan Domestik Perlu Diperhatikan
Beralih ke dalam negeri, Mahendra menyampaikan kabar baik terkait inflasi domestik yang cukup terkendali. Inflasi Januari 2025 tercatat 0,76 persen yoy, dan inflasi inti sebesar 2,26 persen yoy. Angka ini menunjukkan bahwa permintaan domestik masih cukup baik.
“Inflasi yang terkendali ini tentu menjadi modal yang baik bagi kita. Namun demikian, kita tetap perlu mencermati indikator permintaan domestik lainnya,” kata Mahendra.
Mahendra menyebutkan beberapa indikator permintaan domestik yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain penurunan penjualan kendaraan bermotor (baik motor maupun mobil), penurunan penjualan semen, serta perlambatan pertumbuhan harga dan penurunan volume penjualan rumah.
Di sisi pasokan (supply), terdapat sinyal positif dari sektor manufaktur. PMI Manufaktur Indonesia pada Januari 2025 naik ke level 51,9, meningkat dari 51,2 pada bulan sebelumnya. Kinerja sektor eksternal juga tetap solid di tengah perlambatan ekonomi global. Hal ini tercermin dari surplus neraca perdagangan yang terus berlanjut. Pada Januari 2025, surplus neraca perdagangan meningkat menjadi 3,45 miliar dolar AS, tumbuh sebesar 71,71 persen yoy.
“Surplus neraca perdagangan ini menjadi bukti bahwa kinerja eksternal kita masih sangat baik, di tengah kondisi global yang kurang menggembirakan. Ini tentu menjadi penyangga penting bagi stabilitas ekonomi kita,” tutur Mahendra.
Secara keseluruhan, Mahendra Siregar menegaskan bahwa OJK akan terus memantau perkembangan ekonomi global dan domestik, serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas Sektor Jasa Keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Penguatan resiliensi sektor keuangan menjadi fokus utama OJK dalam menghadapi ketidakpastian yang terus berlanjut.