Mataram – Dinukil dari Buku Asbabun Nuzul oleh Imam as-Suyuthi, Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang Quraisy menyeru Rasulullah SAW agar diberi harta supaya mereka menjadi orang paling kaya di Makkah.
Mereka akan menikahkan Rasulullah SAW dengan wanita yang diinginkan beliau. Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, surat ini menyatakan tentang pembebasan diri dari apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik.
Sepenggal kalimat di atas akan menggambarkan toleransi antara umat beragama versi islam. Dalam islam, toleransi beragama telah diatur oleh Allah SWT dalam Alqur’an surat Al-Kafirun ayat 1-6
Surat ini juga memerintahkan untuk membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan dengan sebersih-bersihnya.
Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa beliau tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang disembah oleh kafir Quraisy, begitupun sebaliknya.
Para kafir Quraisy tidak pernah pula menjadi penyembah Allah SWT. Sebagaimana bunyi ayat yang keempat dan kelima. Pada akhir Surat Al Kafirun ini Rasulullah SAW melepas diri dari mereka tentang segala hal yang mereka kerjakan, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”.
Di dalam Al-Qur’an Allah juga menjelaskan bahwa Salah satu fondasi utama agar umat Islam menghormati keyakinan beragama orang lain ada pada QS al-Baqarah ayat 256.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan, ayat ini turun ketika adanya salah satu sahabat Anshar yang mendatangi Rasulullah SAW. Dia meminta izin kepada anaknya yang beragama Nasrani agar dipaksa untuk menjadi seorang Muslim.
Kisah bermuatan nilai-nilai toleransi pun dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Siapa yang bisa menyangkal adanya piagam Madinah saat Rasulullah hidup bersama kaum Yahudi, Nasrani. Cendekiawan Muslim H Zainal Abidin Ahmad, dalam bukunya Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia, tersirat dengan gamblang betapa Rasulullah menghargai kerukunan hidup beragama.
Sehingga prinsip-prinsip dalam QS al-Kafirun merupakan dasar-dasar toleransi sejati yang mengandung nilai-nilai universal. Saat Muslim menghormati akidah agama lain dengan mengatakan, tak pernah menjadi penyembah yang kamu sembah juga berlaku pada pemeluk agama lain. Mereka tidak akan menyembah apa yang Muslim sembah. Saat prinsip-prinsip ini diterapkan, toleransi akan terwujudkan.
Dalam konteks masyarakat plural seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB), sikap saling menghormati dan menjaga harmoni antar umat beragama menjadi kunci utama untuk menciptakan kedamaian di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bahwa konsep toleransi dalam Q.S. al-Kāfirūn berisi penjelasan toleransi yang khas, yakni dengan beberapa batasan yang tidak boleh dilanggar antara lain dalam hal yang berkaitan dengan keimanan (‘aqīdah) dan ritual peribadatan (‘ibādah). Hal tersebut selain ditunjukkan melalui rangkaian ayat demi ayat yang membangun keseluruhan surat Q.S. al-Kāfirūn, juga dapat dilacak berdasarkan asbāb al-nuzūl ketika surat ini diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pendapat para mufasir mengenai ayat-ayat tersebut menggambarkan beberapa aspek yang menjadi penekanan dalam surat ini. Di antara pesan yang paling utama adalah perbedaan yang jelas di antara orang beriman dengan mereka yang memilih kafir kepada Allah beserta konsekuensinya masing-masing.
Jika orang yang memilih beriman dijanjikan keselamatan di akhirat. Maka hal itu tidak berlaku bagi mereka yang memilih untuk kafir kepada Allah. Hal tersebut memberikan konsekuensi logis bahwa kekafiran akan menuntun seseorang pada kecelakaan dan berbagai praktik ibadah yang mereka lakukan menjadi tidak berarti sedikitpun di sisi Allah Swt.
Namun demikian, tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk berlaku baik dan adil terhadap sesama manusia termasuk kepada non-muslim.
Sebab sikap yang demikian merupakan bagian dari dakwah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim kepada seluruh manusia.
Begitu Indah Islam mengatur toleransi beragama, untuk itu mari kita saling menghormati dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan kita masing-masing.
Tulisan ini ditulis oleh H. Abdul Hakim Ibrahim